PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN
PENATAAN RUANG DI KOTA BANDARLAMPUNG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Saat ini permasalahan penataan ruang yang sering
terjadi adalah berupa ketidakpedulian masyarakat (publik) dalam penyelenggaraan
penataan ruang dan adanya sikap acuh dan kurang memahami esensi penataan ruang
itu sendiri. Hal ini disebabkan kurangnya keterlibatan masyarakat dalam
penyelenggaraan penataan ruang. Masyarakat adalah subyek dari proses
pembangunan sedangkan pemerintah adalah pemberi arah dan fasilitator. Jika
subyek tidak berperan secara baik maka proses pembangunan tidak akan berhasil.
Ketaatan masyarakat pada rencana tata ruang sangat diperlukan demi suksesnya
tujuan penataan ruang. Dan ketaatan membutuhkan prasyarat harus memahami apa
dan bagaimana rencana tata ruang wilayah di mana masyarakat tersebut tinggal.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu didorong untuk
menyelenggarakan pemerintahaan secara baik ( good governance). Pelibatan
masyarakat bisa dipandang sebagai kontrol sosial yang akan mendorong pemerintah
untuk konsisten melaksanakan rencana tata ruang yang aspiratif.
Konsepsi peran serta masyarakat, walaupun berbagai
pihak telah berkeinginan menetapkannya sejak tahun 80-an, tetapi secara formal
baru terwujud konsepsinya di tahun 1992 melalui pengundangan UU No. 24 Tahun
1992 tentang Penataan Ruang yang di sahkan pada tanggal 13 Oktober 1992 dan
kini telah di gantikan oleh Undang – Undang No 26 Tahun 2007 yang di sahkan
pada tanggal 26 april 2007. Hal ini juga sebagai upaya mengantisipasi dan
menjaga kesinambungan pembangunan. Selanjutnya diikuti oleh Peraturan Pemerintah , pada
tanggal 3 Desember 1996, yaitu PP No.69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan
Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan
Ruang sebagai mana telah di perbaharui dan di sahkan pada tanggal 11 oktober
2010 yaitu Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk Dan Tata Cara
Peran Serta Masyarakat.
Disamping itu pemerintah telah mempersiapkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 1998 tentang Tatacara Peranserta Masyarakat
Dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah. Dalam perundangan tersebut di
amanatkan bahwa untuk penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh
Pemerintah dengan mengikutsertakan peranserta masyarakat. Peran dan
keikutsertaan masyarakat dalam melaksanakan dan mengamankan aturan tersebut
amat sangat penting artinya karena hasilnya akan dinikmati kembali oleh masyarakat
di wilayahnya.
Selanjutnya dengan merujuk pada TAP MPR IV/MPR/2000
tentang rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah yaitu peningkatan pelayanan publik dan
pengembangan kreatifitas masyarakat serta aparatur pemerintahan di daerah terlihat
jelas pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam
berbagai proses penyelenggaraan pembangunan, termasuk didalamnya dalam proses
penataan ruang. Semangat tersebut sejalan dengan bunyi pasal 12 UU No 24 Tahun
1992 tentang Penataan Ruang bahwa Penataan
Ruang dilakukan oleh Pemerintah dan Masyarakat. Prinsip tersebut seiring
dengan Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1996 yang mengedepankan Pemerintah
sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku atau stakeholder utama
pembangunan.
PP No. 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan hak dan kewajiban, serta bentuk dan tata cara peran serta
masyarakat dalam Penataan Ruang diatur hal-hal yang berkaitan
dengan Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Masyarakat, Bentuk Peran Serta Masyarakat,
Tata Cara Peran Serta Masyarakat dan Pembinaan Peran Serta Masyarakat diatur
berdasar tingkatan hirarki Pemerintahan dari tingkat Nasional, tingkat Propinsi
dan tingkat Kabupaten/Kota. Dalam PP ini diatur secara rinci pula hak
masyarakat dalam proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang.
Tidak hanya hak, tetapi diatur pula kewajiban masyarakat dalam proses Penataan
ruang.
Pada posisi lain dengan diberlakukannya Undang-Undang
Otonomi Daerah, telah memberikan legitimasi untuk menyerahkan kewenangan dalam proses
penyelenggaraan penataan ruang kepada daerah. Konsekuensi dari kondisi tersebut
antara lain adalah memberikan kemungkinan banyaknya Kabupaten/Kota yang lebih
memikirkan kepentingannya sendiri, tanpa memikirkan sinergi dalam perencanaan
tata ruang dan pelaksanaan pembangunan dengan Kabupaten/Kota lainnya untuk
sekedar mengejar targetnya dalam lingkup masing-masing.
Untuk mensinergikan kepentingan masing-masing
Kabupaten/Kota diperlukan satu dokumen produk penataan ruang yang bisa
dijadikan pedoman untuk menangani berbagai masalah lokal, lintas wilayah, dan
yang mampu memperkecil kesenjangan antar wilayah yang disusun dengan
mengutamakan peran masyarakat secara intensif.
Undang – Undang No 24 Tahun 1992 Tentang Penataan
Ruang sebagai dasar pengaturan penataan ruang selama ini sebelum di sahkannya
dan di gantikan oleh Undang – Undang No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang pada
dasarnya telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam mewujudkan tertib
tata ruang sehingga hampir semua pemerintah daerah telah memiliki rencana tata
ruang wilayah (RTRW)-nya masing-masing. Pada hakekatnya pembentukan Undang
- Undang perlu memperhatikan dasar-dasar
pembentukannya terutama berkaitan dengan landasan-landasan dan asas-asas yang
berkaitan dengan materi muatanya. Sekurang -kurangnya, dasar-dasar penyusunan
peraturan perundang-undangan harus memiliki tiga landasan, yaitu landasan
filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Landasan-landasan
tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut:
a. Landasan
filosofis ( Filosofische grondlag )
Landasan
filosofis merupakan filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa yang berisi
nilai-nilai moral tau etika dari bangsa tersebut. Moral dan etika pada dasarnya
berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik nilai yang baik adalah
pandangan dan cita-cita yang di junjung tinggi. Dimana di dalamnya ada nilai
kebenaran, keadilan, kesusilaan, dan berbagai nilai lainya yang di anggap baik.
Pengertian baik, benar, adil, dan susila tersebut menurut takaran yang di
miliki bangsa yang bersangkutan. Hukum yang baik yang baik harus berdasarkan
kepada itu semua. Dibentuk dengan memperhatikan moral bangsa, maka masyarakat
akan mematuhi dan mentaatinya.
b. Landasan
sosiologis ( Sosiologische grondslag
)
Mempunyai
landasan sosiologis karena ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum
atau kesadaran hukum masyarkat. Hal ini penting agar perundang-undangan yang di
buat ditaati oleh masyarakat,tidak menjadi kalimat-kalimat mati belaka. Hal ini
berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang di buat harus di pahami oleh
masyarakat, sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat. Membuat suatu aturan yang
tidak sesuai dengan tat nilai, keyakinan, dan kesaaran masyarakat tidak akan
adda artinya, tidak mungkin dapat di terapkan karena tidak dipatuhi dan tidak
ditaati.
c. Landasan
yuridis ( Yuridische grondslag)
Memiliki landasan
hukum ( yuridische grondslag ) yang
menjadi dasar kewenangan (bevoegdheid
atau competentie) pembuatan peraturan
perundang-undangan. Apakakah kewenangan seorang pejabat atau lembaga /badan
tertentu mempunyai dasar hukum yang di tentukan dalam peraturan
perundang-undangan sangat di perlukan. (Bahri Saiful,2006).
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang No 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah di rumuskan
adanya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu
sebagai berikut:
1)
Kejelasan tujuan;
2)
Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
3)
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
4)
Daftar di laksanakan;
5)
Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6)
Kejelasan rumusan; dan
7)
Keterbukaan;
Pada akhirnya, penataan ruang diharapkan dapat
mendorong pengembangan wilayah dalam rangka meningkatkan kualitas hidup
masyarakat yang berkeadilan sosial dalam lingkungan hidup yang lestari dan
berkesinambungan melalui penataan ruang.
Undang-Undang
nomor 26 tahun 2007 menyebutkan bahwa Ruang adalah wadah yang
meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi
sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.. Selanjutnya, tata ruang adalah
wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak.
Pengertian penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang termasuk didalamnya penataan ruang
kota.
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mencoba menguraikan
dan membahas tentang “PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PENATAAN RUANG
DI KOTA BANDARLAMPUNG”
B.
Rumusan
Pemasalahan dan Ruang Lingkup
1.
Rumusan
Permasalahan
Dari
uraian latarbelakang di atas maka dalam penulisan penelitian ini penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana
peran serta masyarakat dalam pelaksanaan penataan ruang di kota bandarlampung.?
b. Bagaimana
hak dan kewajiban masyarakat dalam pelaksanaan Penataan Ruang di kota
bandarlampung.?
2.
Ruang
Lingkup
Adapun
yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini hanya dibatasi pada masalah peran serta
masyarakat dalam pelaksanaan penataan ruang di kota bandarlampung.
C.
Tujuan
Penelitian dan Kegunaan.
1.
Tujuan
Penelitian
Dari
uraian latar belakang dan permasalahan di atas maka tujuan dari penelitian ini
adalah :
a. Untuk
mengetahui bagaimana peran serta masyarakat dalam pelaksanaan penataan ruang di
kota bandarlampung.
b. Untuk
mengetahui bagaiman hak dan kewajiban masyarakat dalam hal
perencanaan,pemanfaatan dan pengendalian pemafaatan ruang yang ada di kota
bandarlampung.
c. Untuk
mengetahui seberapa besar peran serta masyarakat dalam proses pengambilan
kebijakan penataan ruang
d. Secara
garis besar penulisan penelitian ini sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar
sarjana hukum.
2.
Kegunaan Penelitian
a)
Dari
Segi Teoritis
Secara teoritis adalah untuk memperluas dan
memperdalam pemahaman penulis tentang
peran serta masyarakat dalam hal pelaksanaan penataan ruang yang ada di kota
bandarlampung.
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu hukum melengkapi bahan
bacaan di bidang Ilmu Hukum, khususnya Hukum Penataan Ruang dan menjadi
kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan serta menjadi titik tolak dalam
penelitian sejenis di masa mendatang.
b)
Kegunaan
Secara Praktis
Dapat
menambah pengetahuan penulis mengenai peranan masyarakat dalam hal pelaksanaan
penataan ruang selain itu untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada instansi terkait dalam hal pelaksaan penataan
ruang khususnya di kota bandarlampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar