BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Anak merupakan anugerah terindah yang tidak tergantikan dalam sebuah
keluarga. Setiap orang yang berumah tangga sangat menginginkan akan hadirnya
seorang anak. Anak dapat memberikan hiburan tersendiri kepada orang tua di kala
mereka penat dengan kegiatan sehari-hari. Selain itu, anak juga merupakan
penerus keturunan dalam keluarga.
Tidak semua keluarga memiliki kesempatan untuk memiliki anak kandung.
Banyak hal yang menyebabkan hal ini. Bisa jadi karena alasan medis, karena
usia, atau karena memang belum “dipercaya” untuk memiliki anak oleh Tuhan. Bagi
keluarga yang belum dikaruniai anak, adopsi merupakan jalan yang tepat. Banyak
keluarga yang mengadopsi anak sebagai “pancingan” agar secepat mungkin
dikaruniai anak kandung. Namun ada juga yang mengadopsi anak untuk meringankan
beban orang tua kandung si anak, terlebih lagi jika orang tua kandung anak
tersebut berasal dari keluarga yang tidak mampu.
Jika dalam perkawinan itu tidak diperoleh anak berarti tidak ada yang
melanjut keturunan dan kerabatnya, yang dapat mengakibatkan punahnya kerabat
tersebut. Oleh karena itu orang akan melakukan cara apa saja dan mengorbankan
biaya berapa saja mendapatkan anak dalam perkawinan bahkan ada yang melakukan
program bayi , tidak jarang juga mendapatkan anak walaupun telah berusaha secara maksimal sehingga
pengangkatan anak (adopsi) dianggap sebagai jalan terakhir.
Pengangkatan yang lazim disebut adopsi
merupakan lembaga hukum yang dikenal sejak lama dalam budaya masyarakat
Indonesia bermaca-macam motif orang melakukan pengangkatan anak, sehingga
mengadopsi seorang anak tidak bisa dilakukan dengan “asal-asalan”. Ada
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang adopsi anak.
Peraturan mengenai tata cara dan akibat
hukum dari pengangkatan anak itu sendiri juga bersifat pluralistik di
Indonesia. Masing-masing etnis dan golongan penduduk mempunyai aturan sendiri
mengenai prosedur dan akibat hukum pengangkatan anak. Keanekaragaman ini sering
menyebabkan ketidakpastian dan masalah hukum yang tidak jarang menjadi sengketa
pengadilan. Eksistensi adopsi di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum masih
belum sinkron, sehingga masalah adopsi masih merupakan problema bagi
masyarakat, terutama dalam masalah yang menyangkut ketentuan hukumnya. Ketidaksinkronan
tersebut sangat jelas dilihat, kalau dipelajari ketentuan tentang eksistensi
lembaga adopsi itu sendiri.
Masalah pengangkatan anak semakin menarik perhatian untuk dikaji
setelah berlakunya Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam, oleh Kompilasi Hukum Islam mengakui adanya hubungan hukum antara anak
angkat dan orang tua angkat berupa wasiat wajibah dalam pasal 299. sehingga
mengenai pengangkatan anak merupakan topik yang sangat menarik dibahas. Selain
itu isu adopsi oleh orang warga negara asing kembali mencuat pasca
bencana tsunami dan gempa di Nanggroe Aceh Darussalam. Dimana sejumlah
masyarakat berkeinginan untuk mengadopsi anak-anak Aceh korban tsunami. Berita hilangnya 300 anak pasca bencana tsunami Aceh yang dilarikan oleh World
Help sampai hari ini tidak jelas penyelesaianya, dan banyak pihak menduga
anak-anak ini dilarikan ke Amerika.
Pada mulanya pengangkatan anak hanya dilakukan semata-mata untuk
melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan/marga dalam suatu keluarga yang
tidak mempunyai anak kandung. Disamping itu juga untuk mempertahankan ikatan
perkawinan. Sehingga tidak timbul perceraian. Tetapi dalam perkembangannya
kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan adopsi telah berubah
menjadi untuk kesejahteraan anak. Hal ini tercantum dalam Pasal 12 ayat 1
Undang-Undang No 4 Tahun 1979, yang berbunyi “pengangkatan anak menurut adat
dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”.
Namun masih ada juga penyimpangan-penyimpangan seperti misalnya ingin
menambah/mendapatkan tenaga kerja yang murah. Ada kalanya keluarga yang telah
mempunyai anak kandung, merasa perlu lagi untuk mengangkat anak yang bertujuan
untuk menambah tenaga kerja dikalangan keluarga atau karena kasihan terhadap
anak yang diterlantarkan.
Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk
dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang
berlaku di masyarakat yang bersangkutan.
Kenyataan sosial pengangkatan anak merupakan salah satu aspek dalam
hubungan antar bangsa dan anak negara. Pengangkatan anak semacam itu
menimbulkan masalah baru yaitu masalah pengangkatan anak antar negara. Namun
demikian hingga kini belum dijumpai literatur yang memadai tentang pengangkatan
anak antar negara, demikian pula mengenai undang-undang tentang pengangkatan
anak yang sejak tahun 1982 masih tetap menjadi rancangan undang-undang.
Dalam proses pengangkatan anak, anak tidak mempunyai kedudukan yang sah
sebagai pihak yang membuat persetujuan. Anak merupakan objek persetujuan yang
dipersoalkan dan dipilih sesuai dengan selera pengangkat. Tawar-menawar seperti
dalam dunia perdagangan dapat selau terjadi. Pengadaan uang serta penyerahaan
sebagai imbalan kepada yang punya anak dan mereka yang telah berjasa dalam
melancarkan pengangkatan merupakan petunjuk adanya sifat bisnis pengangkatan
anak.
Sehubungan dengan ini, maka harus dicegah pengangkatan anak yang
menjadi suatu bisnis jasa komersial. Karena hal itu sudah bertentangan dengan
azas dan tujuan pengangkatan anak.
Menurut azas pengangkatan anak, maka seorang anak berhak atas
perlindungan orang tuanya, dan orang tuanya wajib melindungi anaknya dengan
berbagai cara. Oleh sebab itu hubungan antara seorang anak dengan orang tua
harus dipelihara dan dipertahankan sepanjang hidup masing-masing. Pelaksanaan pengangkatan anak pada hakekatnya merupakan suatu bentuk pemutusan
hubungan antara orang tua kandung dengan anak kandung. Dengan demikian, maka
pengangkatan anak adalah pada dasarnya tidak sesuai dengan azas pengangkatan
anak dan tidak dapat dianjurkan.
Pengangkatan anak pada hakekatnya dapat dikatakan salah satu penghambat
usaha perlindungan anak. Oleh sebab pengangkatan anak yang pada hakekatnya
memutuskan hubungan antara orang tua kandung dengan anak kandung, menghambat
seorang ayah kandung melaksanakan tanggung jawabnya terhadap anak kandung dalam
rangka melindungi anak (mental, fisik,dan sosial). Pengangkatan anak tidak memberikan
kesempatan anak melaksanakan hak dan kewajibannya terhadap orang tua
kandungnya. Hal ini tidak mendidik dan membangun kepribadian seorang anak.
Kalaupun upaya adopsi berhasil, pasal 40 UU perlindungan anak masih mewajibkan
orang tua angkat memberitahukakan asala-usul orang tua kandung kepada anak
kelak.
Pengangkatan anak menyangkut nasib anak yang harus dilindungi, sebab
anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cta perjuangan
bangsa. Anak mempunyai peran yang strategis dalam menjamin kelangsungan
eksistensi bangsa dan negara pada masa depan, oleh karena itu setiap anak perlu
mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara
optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhalak mulia. Oleh sebab itu
juga pengangkatan anak harus menjadi pokok perhatian perlindungan anak, serta pelaksanaannya harus diamankan oleh hukum perlindungan anak demi
perlakuan adil dan sejahtera bagi kehidupan anak.
Pengangkatan
anak akan mempuyai dampak perlindungan anak apabila syarat-syarat seperti
dibawah ini dipenuhi, yaitu;
1.
diutamakan pengangkatan anak yang
yatim piatu
2.
anak yang cacat mental, fisik,
sosial,
3.
orang tua anak tersebut memang
sudah benar-benar tidak mampu mengelola keluarganya
4.
bersedia memupuk dan memelihara
ikatan keluarga anatara anak dan orang tua kandung sepanjang hayatnya
5. hal-hal lain
yang tetap mengembangkan manusia seutuhnya.
Permasalahan pengangkatan anak jelas begitu kompleks dan rumit dan
dapat membuat anak tidak mampu melindungi dirinya sendiri menjadi korban non
struktural dan struktural. Oleh karena itu Mahkamah Agung tidak menutup mata
dengan banyak masalah yang terjadi pada pengangkatan anak sehingga aturan yang
dulu dipakai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 tahun 1979, disempurnakan
lewat Surat Edaran Mahkamah agung (SEMA) No. 6 tahun 1983
Dengan banyaknya permohonan pengangkatan anak baik didalam negeri
maupun antar negara. Terlebih melihat modernisasi negara-negara barat yang
telah melahirkan tingkat kemakmuran tinggi yang membawa perubahan jalan fikiran
tentang perkawinan dan keluarga dimana kaum wanita tidak ingin menikah, ataupun
kalau menikah mereka tidak ingin memiliki anak. Mereka rela mengeluarkan biaya yang besar untuk mengadopsi anak
Kebutuhan Adopsi massal ini yang menyebabkan ada pihak-pihak yang menarik
banyak keuntungan yang tidak pada tempatnya. Pada sisi lain negara-negara
berkembang seperti Indonesia masih dipenuhi warga miskin dengan segala
persoalannya, yang kemudian menjadi sasaran pencarian anak-anak yang akan
diadopsi melalui proses perdagangan. Hal ini disertai Kemudahan-kemudahan untuk mendapatkan
keterangan-keterangan dari kelurahan atau kepala desa dan kurangnya
pengamatan/penelitian dapat mengakibatkan lolosnya permohonan pengangkatan anak
antar negara tanpa memperhatikan aspek keamanan negara. Seperti kasus Tristan
dowse, korban penjualan anak berkedok adopsi adalah kasus yang besar tidak
hanya di Indonesia tetapi juga di negara asal orang tua yang mengadopsinya,
Irlandia. Setelah melalui proses hukum tristan kembali ke ibu kandungnya.
Tristan adalah salah satu contoh adopsi orang asing, walaupun dalam praktek
terdapat jual beli. Adopsi anak bernama asli Erwin disahkan Pengadilan Negeri
Jakarta selatan. Diyakini ada banyak kasus sejenis terjadi meskipun belum
terungkap kepermukaan. Umumnya terjadi melalui sindikat perdagangan bayi.
Diyakini di Indonesia ada ratusan ribu anak yang belum mendapat
pengasuhan dan perlindungan sangat rentan dengan adopsi yang tidak sesuai
dengan peraturan hukum yang berlaku (adopsi Ilegal) hal ini justru membuat anak
tidak bahagia karena ada yang dieksploitasi bahakan ditelantarkan kembali oleh
orang tua yang mengadopsinya.
Oleh karena itu terlepas dari siapapun yang hendak mengadopsi dan
dengan alasan apapun hendak mengasuh dan mengadopsi anak harus sesuai dengan
prosedur yang diatur dalam hukum. Hal ini untuk mencegah terjadinya Traffiking
anak sebab trafficking bukan saja persoalan penjualan anak untuk eksploitasi
baik seksual maupun tenaga, tetapi juga penjualan bayi yang masih dalam kandungan,
dan anak-anak dengan dalih adopsi.
B. Perumusan
Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka yang akan
dibahas dalam penulisan skripsi ini, dapat dirumuskan beberapa permasalahan
sebagai berikut:
1.
Bagaimana peraturan hukum mengenai
pengangkatan anak (adopsi) dan prosedur pengangkatan anak?
2.
Bagaimana implementasi hak anak
dalam hukum nasional?
3.
Bagaimana sanksi pidana bagi
pelaku pengangkatan anak secara ilegal?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar