Sabtu, 22 September 2012

MACAM-MACAM CARA PENAFSIRAN (INTERPRETASI)


Penafsiran atau interpretasi peraturan undang-undang ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.

A.CARA PENAFSIRAN/INTERPRETASI :
1. Dalam pengertian subyektif dan obyektif
a. Dalam pengertian subyektif, apabila ditafsirkan seperti yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang.
b. Dalam pengertian obyektif, apabila penafsirannya lepas dari pada pendapat pembuat undang-undang dan sesuai dengan adat bahasa sehari-hari.
2. Dalam pengertian sempit dan luas
a. Dalam pengertian sempit (restriktif), yakni apabila dalil yang ditafsirkan di beri pengertian yang sangat di batasi.
b. Dalam pengertian secara luas (ekstensif), ialah apabila dalil yang ditafsirkan diberi pengertian seluas-luasnya.
3. Dilihat dari sumbernya penafsiran dapat bersifat:
a. Otentik, ialah penafsiran seperti yang diberikan oleh pembuat undang-undang seperti yang dilampirkan pada undang-undang sebagai penjelasan. Penafsiran otentik mengikat umum.
b. Doktrinair atau ilmiah, ialah penafsiran yang didapat dalam buku-buku dan lain-lain hasil karya para ahli. Hakim tidak terikat Karena penafsiran ini hanya mempunyai nilai teoritis.
c. Hakim, penafsiran yang bersumber dari hakim (peradilan) hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan berlaku bagi kasus-kasus tertentu.

B.METODE PENAFSIRAN
Metode penafsiran konstitusi yang berkembang dalam ilmu hukum pada umumnya, dan ilmu hukum tata negara pada khususnya,yaitu:
1.Metode Tafsir Literal / Literlijk.
Metode ini, menurut Utrecht, adalah metode pertama yang ditempuh dalam penafsiran UU. Penafsiran bertumpu pada penggalian makna harfiah suatu teks (what does the word mean). Menurutnya, seorang hakim wajib mencari tahu arti kata dalam UU dalam kamus atau pada ahli tata bahasa. Jika hakim belum menemukan maknanya, maka dia mencarinya dengan memperhatikan dan mempelajari susunan kalimat dan mencari hubungannya dengan peraturan-peraturan lain.
2.Metode Tafsir Gramatik.
Interpretasi bahasa ini mempunyai penekanan pada makna teks yang di dalamnya terdapat kaidah hukum. Menurut Visser Hoft, di negara yang mengedepankan kodifikasi, (berdoktrin the binding force of precedent). Teks harfiah UU sangat penting. Namun, adakalanya metode penafsiran ini kurang bisa menjawab jika norma yang ditafsirkan sudah menjadi perdebatan. Maka diperlukan metode-metode yang lain.
3.Metode Tafsir Restriktif.
Sudikno Mertokusumo dan Pitlo mengartikan tsfsir restriktif sebagai cara tafsir dengan cara pembatasan penafsiran sesuai dengan kata yang mana kata tersebut sudah mempunyai makna tertentu. Apabila suatu norma sudah dirumuskan secara jelas (expresis verbis), maka penafsiran yang bersifat kompleks tidak lagi dibutuhkan. Tafsir norma tersebut harus dicukupkan (iktifa’) dengan makna yang jelas tersebut.
4.Metode Tafsir Ekstensif.
Metode penalaran yang digunakan dalam metode tafsir seperti ini adalah kebalikan dari metode restriktif. Jika metode tafsir restriktif membatasi penafsiran pada suatu makan tertentu, maka metode ekstensif bersifat memperluas makna. Menurut Sudikno dan Pitlo, hasil penafsiran ini melebihi dari apa yang didapat dari metode tafsir gramatikal.
5.Metode Tafsir Otentik.
Penafsiran ini dikenal dengan sebutan authentekie interpretatie / officiele interpretatie. Utrecht berpendapat, bahwa penafsiran gaya ini adalah penafsiran yang didasarkan pada tafsir yang dinyatakan oleh pembuat undang-undang. Dalam dunia perundang-undangan, kita mengenal apa yang disebut dengan penjelasan UU. Menurut Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, gaya tafsir seperti ini hanya boleh dilakukan berdasarkan makna yang sudah jelas dalam UU.
6.Metode Tafsir Sistematik.
Systematiche interpretatie / dogmatische interpretatie adalah menafsirkan menurut sistem yang ada dalam hukum yakni dengan memperhatikan naskah-naskah hukum lain. Misalkan, yang akan ditafsirkan adalah sebuah norma yang ada dalam UU, maka peraturan yang sama dan apalagi mempunyai asas yang sama, pantas untuk diperhatikan. Menurut Vissert, dalam sistem hukum yang mengedepankan kodifikasi (the binding force of precedent), merujuk pada UU yang lain adalah perkara yang lumrah. Namun dalam negara yang menganut case law system, yang bersendikan the persuassive force of precedent, yang menjadi rujukan adalah sistemnya, apabila suatu karakter sitematis dapat diasumsikan (diandaikan).
7.Metode Tafsir Sejarah Undang-Undang.
Dasar dari metode ini adalah apa yang menjadi dasar dalam perumusan UU itu sendiri. Penafsiran dengan menggunakan gaya ini adalah merupakan gaya tafsir historis dalam artinya yang sempit. Titik tekan pada gaya tafsir ini adalah merujuk pada sejarah penyusunan, risalah yang digunakan dalam penyusunannya, catatan pembahasan oleh komisi-komisi legislator, dan naskah-bnaskah lain yang berhubungan. Menurut Utrecht, gaya tafsir ini terfokus pada latar belakang penyusunan naskah dan perdebatan yang terjadi pada saat perumusan UU tersebut.
8.Metode Tafsir Historis.
Jika metode tafsir nomor 7 adalah tafsir sejarah dalam arti sempit, maka metode tafsir ini adalah arti dari kata sejarah dalam arti yang lebih luas dari pengertian yang sebelumnya, karena tidak hanya mencakup pada sejarah penyusunan, namun lebih jauh kebelakang dengan juga memperhatikan pendapat pakar dari masa lampau yang sudah menjadi comminis oppinio doctorum. Penafsiran historis yang bergaya seperti ini,juga dilakukan dengan menyelidiki asal-usul naskah dari sebuah sistem hukum yang pernah berlaku, bahkan tak jarang juga harus meneliti dokumen dari sistem hukum lain yang berlaku di negara lai pula.
9.Metode Tafsir Teleologis.
Metode tafsir ini memusatkan perhatian pada persoalan apa yang hendak dicapai oleh norma yang ada dalam teks. Titik tekan tafsiran pada fakta bahwa pada teks terkandung tujuan atau asas sebagai pondasi. Dan tujuan dan asas tersebut mempengaruhi interpretasi.
10.Metode Tafsir Sosiologis.
Sociological Interpretation memusatkan diri pada permasalahan apa konteks sosial dari kegiatan yang akan dinilai secara hukum (what does social context of the event to be legally judged). Konteks sosial suatu naskah dirumuskan dapat mempengaruhi legislator ketika sebuah naskah hukum dirumuskan, dan hal ini harus dijadikan konsideran juga dalam penafsiran norma.
11.Metode Tafsir Sosio-Historis.
Gaya tafsir seperti ini adalah dengan memperhatikan “asbaabun nuzul” dan “asbaabul wurud” suatu norma hukum. Berbeda dengan penafsiran historis (baik dalam arti sempit –No.7- atau dalam arti luas –No.8-), penafsiran sosio-historis memperhatikan keadaan konteks dan perkembangan sosiologis masyarakat pada saat suatu norma hukum itu lahir. Perbedaannya dengan metode tafsir sosiologis, adalah metode sosio-historis lebih memusatkan perhatiannya pada konteks sejarah yang mempengaruhi pembentukan suatu norma hukum.
12.Metode Tafsir Holistik.
Teori penafsiran holistik mengaitkan sebuah naskah hukum dengan konteks keseluruhan jiwa dari naskah tersebut. Konsep dasar yang terkandung dalam metode tafsir ini adalah pengandaian bahwa setiap naskah hukum seperti UU atau UUD haruslah dipandang sebagai satu kesatuan sistem norma hukum yang mengikat untuk umum. Sehingga kandungan makna yang tertuang dalam teks, tidak dipahami kata-per-kata atau pasal-per-pasal, namun dipandang sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh/holistik.
13.Metode Tafsir Tematis – Sistematis.
Pusat perhatian dalam metode tafsir yang satu ini adalah persoalan apa yang menjadi tema substantif artikel dirumuskan (what be the substantive theme of the article formulated). Dalam konstitusi Amerika Article 68 menentukan bahwasanyapemilihan umum berkala diselenggarakan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sebelum akhir masa jabatan anggota National Assembly. Pemilihan umum anggota National Assembly diselenggarakan dengan tata cara yang diatur oleh UU. Selanjutnya ditentukan pula bahwa penyelenggaraan pemilu ditetapkan dengan keputusan, dengan ketentuan bahwa sidang pertama anggota National Assembly yang baru terpilih harus sudah diadakan pada Kamis kedua sesudah terpilihnya sekurang-kurangnya 2/3 jumlah seluruh anggota National Assembly. Jika diperhatikan, jelas sekali bahwa Article 68 Konstitusi Amerika Serikat ini mengatur prosedur penyelenggaraan pemilu. Beginilah cara tafsir tematis-sistematis.
14.Metode Tafsir Futuristik.
Metode ini adalah gaya tafsir hukum yang dilakukan dengan cara merujuk pada suatu RUU / ius constituendum yang sudah mendapat persetujuan bnersama, namun belum disahkan secara formil, atau masih belum mendapat persetujuan, namun hakim penafsir melakukan forward walking, yakni merujuk pada nilai-nilai yang pasti lolos dalam ius constituendum tersebut sehingga pada waktunya disahkan dan mengikat (in kracht), norma hukum yang dijadikan acuan oleh hakim penafsir tadi sudah menjadi hukum positif (ius constitutum).
15.Metode Tafsir Evolutif-Dinamis.
Tokoh yang mengenalkan gagasan tafsir seperti ini adalah Vissert Hoft. Metode interpretasi norma ini dipandang perlu untuk dilakukan karena adanya pandangan yang berubah dalam dinamika kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, makna yang harus diberikan pada norma hukum yang ditafsirkan haruslah bersifat “mendobrak perkembangan”. Salah satu ciri penting metode interpretasi ini adalah diabaikannya maksud asli (the original intent) legislator.

16.Metode Tafsir Komparatif.
Pengertian yang sangat mudah dari perbandingan adalah: identifying simmliarity and differences. Pitlo dan Sudikno mengartikan metode ini sebagai sebuah kegiatan penafsiran dengan cara membandingkan dengan berbagai sistem hukum. Perbandingan yang dilakukan adalah sebagai upaya menemukan prinsip-prinsip yang berlaku umum pada sistem-sistem yang diperbandingkan. Sehinnga hasil dari komparasi tersebut dapat digunakan dan diterapkan dalam menyelesaikan suatu kasus hukum dengan seadil-adilnya dan setepat-tepatnya.
17.Metode Tafsir Interdisipliner.
Sudikno dan Pitlo berpendapat bahwa penggunaan logika penafsiran dengan menggunakan banyak cabang ilmu pengetahuan, banyak cabang dalam ilmu hukum sendiri, ataupun banyak cabang dari berbagai metode penafsiran juga penting. Karena banyak kasus yang tidak dapat didekati dengan hanya mengandalkan satu sudut pandang saja. Yang antara lain disebabkan oleh kompleksitas pemasalahan yang harus melibatkan interdisiplin ilmu demi menggapai keadilan.
18.Metode Tafsir Multidisipliner.
Berbeda dengan tafsir interdisipliner yang melibatkan banyak cabang ilmu di luar ilmu hukum, metode tafsir interdisipliner hanya melibatkan suatu cabang ilmu diluar ilmu hukum. Misalnya, suatu kasus yang menuntut adanya pembuktian yang pembuktian tersebut semata-mata hanya tergantung pada penafsiran ilmu kedokteran saja.
19.Metode Tafsir Filosofis
Penafsiran filosofis memusatkan perhatian pada segi what is the underlying philosophical thought yang tekandung dalam teks yang akan ditafsirkan. Misalkan tafsir Mahkamah Konstitusi atas Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam hal ini, faktor filosofi bermain.


20. Metode Penafsiran Kreatif
Menurut Dworkin, interprestasi kreatif dapat digunakan, tetapi hanya terhadap kasus khusus dari interprestasi conversational. Penafsiran ini dimaksudkan untuk mengungkap maksud penyusunan atau maksud-maksud dalam tulisan. Misalnya, novel atau tradisi tertentu masyarakat yang biasanya diungkapkan masyarakat dalam percakapan sehari-hari. Bahwa interprestasi kreatif hanya untuk kasus khusus penafsiran lisan. Interprestasi kreatif bukanlah sekedar menangkap mana dalam percakapan melainkan mengkonstruksikan atau menyusun makna. Penafsiran kreatif dalam pandangan konstruktif adalah interaksi antara maksud dan tujuan.
21. Metode Penafsiran Artistik
Sebagaimana dikemukakan oleh Dworkin, melakukan kegiatan penafsiran dengan cara menentukan maksud penulis bukanlah persoalan yang mudah dan sederhana. Oleh karena itu, berupaya untuk memahami suatu maksud, dilkukan melalui pemaknaan ungkapan kesadaran mental. Penafsiran artistic tidak selalu bermaksud mengidentifikasikan beberapa jenis kesadaran pikiran dalam menggunakan pengaruhnya terhadap pikiran penyusun ketika dia mengatakan, menulis, atau melakukan sesuatu. Dalam hal imi, maksud selalu lebih kompleks dari problematical.
22. Metode Penafsiran Konstruktif
Metode penafsiran konstruktif ini, menurut Dworkin, dapat dilakukan dengan tiga tahap. Pertama, tahap pra-penafsiran dimana aturan-aturan dan batasan-batasan yang digunakan untuk memberikan isis tentatif mengenai praktik yang diperkenalkan. Kedua, adalah tahap interpretasi sendiri, dimana penafsir menjustifikasi unsure-unsur pokok yang timbul dari praktik. Justifikasi tidak perlu semua harus sesuai bagi penafsir. Menjadi sangat penting dalam hal ini, bahwa mampu melihat dirinya sendiri sebagai penafsir praktis dan menemukan sesuatu yang baru. Ketiga, setelah tahap penafsiran penafsir menyesuaikan pendiriannya tentang prakrik sebenarnya atau menyelesaikan .



23. Metode Penafsiran Konversasional
Metode ini sebenarnya agak berada di luar kebiasaan penafsiran yang biasa digunakan. Penafsiran konversasional ini bukan dimaksudkan untuk menjelaskan suara seseorang. Penafsiran ini menandai makna dalam menjelaskan motif-motif dan maksud-maksud mengenai makna yang dirasakan pembicara, dan menyimpulkan sebagai pernyataan tentang maksud pembicaraan dalam mengatakan apa yang dia perbuat. Penafsir hendak menemukan maksud atau makna yang diucapkan oleh orang lain dalam berbagai peristiwa yang secara tepat untuk makna dalam masyarakat, misalnya sopan santun. Sutandyo dalam salah satu tulisannya semiotika, mengatakan tentang the semiotic jurisprudence. Semiotik mengkaji tentang tanda-tanda kebahasaan yang tidak lain dari hasil konsep-tualisasi oleh subjek-subjek atau intersubjek.

9 komentar:

  1. Sedikit koreksi Mas, penempatan asas the binding force of precedent dng the persuasive force of precedent tertukar posisinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih atas koreksinya secepatnya akan saya coba perbaiki,mohon info mengenai penjelasan yang sebenarnya,hehehe
      terimakasih

      Hapus
  2. ma'af numpang tanya gan,,,,,contoh-contoh dari penafsiran-penafsiran diatas apa aja ya...terima kasih sebelumnya,,

    BalasHapus
  3. salam kenal dan numpang tya..
    untuk penelitian simbol tata rias wayang oarang pakai metode penafsiran yang mana nggih...nuwun

    BalasHapus
  4. Sumbernya dari buku apa ya mas? Jika menulis akan lebih bijak jika kita bisa menyebutkan sumbernya, sehingga pembaca juga dapat mengetahui tulisan ini dikutip dari buku apa? Terimakasih

    BalasHapus
  5. sebaiknya dicantumkan sumber penulisannya sehinga bisa dipertanggungjawabkan

    BalasHapus
  6. Sepertinya penulis menggunakan buku "Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara" karya Prof. Jimly atau bukux yg lain "Teori &Aliran Pemikiran Hukum Tata Negara"yg diterbitkan olh Indhill Co jkt.

    BalasHapus
  7. Kalau misalnya saya mau tanya penafsiran suatu pasal pada uu. Harus kemana ya? Misal pasal 59 ayat 2 UU No. 20 thn 2011

    BalasHapus
  8. mohon maaf, kalau boleh tahu sumbernya dari buku apa ya? bisa sekalian publikasikan mengenai sumbernya? karena alangkah baiknya jika menulis menggunakan sumber.

    BalasHapus