Senin, 09 Juli 2012

HUKUM TATA RUANG



TATA RUANG DI INDONESIA

Penataan ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga masyarakat perlu mendapat akses dalam proses perencanaan penataan ruang. Konsep dasar hukum penataan ruang terdapat dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 aliniea ke-4, yang menyatakan “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia”. Selanjutnya, dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. 
Ketentuan tersebut memberikan “hak penguasaan kepada Negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada Negara untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.” Kalimat tersebut mengandung makna, Negara mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna terlaksananya kesejahteraan yang dikehendaki. Untuk dapat mewujudkan tujuan Negara tersebut, khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti Negara harus dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya tujuan tersebut dengan suatu perencanaan yang cermat dan terarah.    
Apabila kita cermati secara seksama, kekayaan alam yang ada dan dimiliki oleh Negara, yang kesemuanya itu memiliki suatu nilai ekonomis, maka dalam pemanfaatannya harus diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi, sehingga tidak akan adanya perusakan dalam lingkungan hidup. Upaya perencanaan pelaksanaan tata ruang yang bijaksana adalah kunci dalam pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak lingkungan hidup, dalam konteks penguasaan Negara atas dasar sumber daya alam, melekat di dalam kewajiban Negara untuk melindungi, melestarikan dan memulihkan lingkungan hidup secara utuh. Artinya, aktivitas pembangunan yang dihasilkan dari perencanaan tata ruang pada umumnya bernuansa pemanfaatan sumber daya alam tanpa merusak lingkungan.
Selanjutnya, dalam mengomentari konsep Roscoe Pound, Mochtar Koesoemaatmadja mengemukakan bahwa hukum haruslah menjadi sarana pembangunan. Disini berarti hukum harus mendorong proses modernisasi. Artinya bahwa hukum yang dibuat haruslah sesuai dengan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 
Sejalan dengan fungsi tersebut, maka pembentuk undang-undang mengenai penataan ruang. Untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang, maka peraturan perundang-undangan telah banyak diterbitkan oleh pihak pemerintah, dimana salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur penataan ruang adalah Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang merupakan undang-undang pokok yang mengatur tentang pelaksanaan penataan ruang.
Sejarah Pengaturan Tata Ruang Di Indonesia
Peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang (kota) modern di Indonesia telah diperhatikan ketika kota Jayakarta (kemudian menjadi Batavia) dikuasai oleh Belanda pada awal abad ke-7, tetapi peraturan tersebut baru dikembangkan secara insentif pada awal abad ke-20. Peraturan pertama yang dapat dicatat disini adalah De Statuen Van 1642 yang dikeluarkan oleh VOC khusus untuk Kota Batavia. 
Peraturan ini tidak hanya membangun pengaturan jalan, jembatan dan bangunan lainnya, tetapi juga merumuskan wewenang dan tanggung jawab pemerintah kota. Pembangunan peraturan kota mulai diperhatikan lagi setelah Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Undang-Undang Desentralisasi pada tahun 1903 yang mengatur pembentukan pemerintah kota dan daerah. Dimana undang-undang ini memberikan hak kepada kota-kota untuk mempunyai pemerintahan, administrasi dan keuangan kota sendiri. 
Tugas pemerintahan kota diantaranya adalah pembangunan dan pemeliharaan jalan dan saluran air, pemeriksaan bangunan dan perumahan, perbaikan perumahan dan perluasan kota. Berdasarkan undang-undang ini dibentuklah pemerintahan otonom yang disebut Gemeente, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Tak lama kemudian, pada tahun 1905 diterbitkan Localen-Raden Ordonantie, Stb 1905/191 Tahun 1905 yang antara lain berisi pemberian wewenang pada pemerintahan kota untuk menentukan prasyarat persoalan pembangunan kota. 
Karena mengalami beberapa persoalan mengenai pembentukan kota, pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda menyadari perlunya perencanaan kota yang menyeluruh. Hal inilah yang memicu dimulainya pengembangan perencanaan kota di Indonesia, meskipun pada saat itu belum ada peraturan pemerintah yang seragam.
Peraturan pembangunan kota tidak dapat dipisahkan dengan usaha-usaha Thomas Karsten, yang dalam kegiatannya dari tahun 1902 sampai dengan 1940 telah menghasilkan dasar-dasar yang kokoh bagi perkembangan peraturan pembangunan kota yang menyeluruh, antara lain untuk penyusunan rencana umum, rencana detail, dan peraturan bangunan. Laporan Thomas Karsten  mengenai pembangunan kota Hindia Belanda yang diajukan pada kongres desentralisasi pada tahun 1920 tidak hanya berisikan konsep dasar pembangunan kota dan peran pemerintah kota, tetapi juga merupakan petunjuk praktis yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk penyusunan berbagai jenis rencana.
Peraturan yang penting bagi perencanaan kota yang disahkan pada tahun 1926 adalah Bijblad, di mana peraturan ini yang menjadi dasar kegiatan perencanaan kota sebelum perang kemerdekaan. Kemudian dilanjutkan pada tahun 1933, kongres desentralisasi di Indonesia meminta pemerintahan Hindia Belanda untuk memusatkan persiapan peraturan perencanaan kota tingkat pusat. Menyusul permintaan ini, dibentuklah suatu Panitia Perencanaan Kota pada tahun 1934 untuk menyiapkan peraturan perencanaan kota sebagai pengganti Bijblad. 
Pada tahun 1939 pemerintah Hindia Belanda menyusun RUU Perencanaan Wilayah perkotaan di Jawa yang berisikan persyaratan pembangunan kota untuk mengatur kawasan-kawasan perumahan, transportasi, tempat kerja dan rekreasi.
Masuknya Jepang ke Indonesia dan adanya perang kemerdekaan  Indonesia menyebabkan RUU Perencanaan Wilayah Perkotaan di Jawa baru disahkan pada tahun 1948 dengan nama Stadsvorming Ordonantie, Stb 1948/168 (SVO, atau Ordonansi Pembentukan Kota), yang kemudian diikuti dengan peraturan pelaksanaanya yaitu Stadsvormingverordening, Stb 1949/40 (SVV atau Peraturan Pembentukan Kota). 
SVO dan SVV diterbitkan untuk mempercepat pembangunan kembali wilayah-wilayah yang hancur akibat peperangan dan pada mulanya hanya diperuntukan bagi 15 kota, yakni Batavia, Tegal, Pekalongan, Semarang, Salatiga, Surabaya, Malang, Padang, Palembang, Banjarmasin, Cilacap, Tanggerang, Bekasi, Kebayoran dan Pasar Minggu.
Pesatnya perkembangan kota dan berubahnya karakteristik kota menyebabkan SVO tidak sesuai lagi untuk mengatur penataan ruang di Indonesia, selain hanya diperuntukan bagi 15 kota, Ordonansi ini hanya menciptakan dan mengatur kawasan-kawasan elit serta tidak mampu mengikuti perkembangan yang ada. Karena itulah pemerintah Indonesia mengajukan RUU Bina Kota pada tahun 1970 yang dipersiapkan oleh Departemen PUTL.
RUU ini mencakup ketentuan-ketentuan antara lain tahapan pembangunan, pembiayaan pembangunan, peraturan bangunan, dan peremajaan kota. Namun, usulan tersebut tidak pernah disetujui.
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya Indonesia menyusun Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang akhirnya undang-undang tersebut disahkan dan berlaku. Namun seiring dengan adanya perubahan terhadap paradigma otonomi daerah melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka ketentuan mengenai penataan ruang mengalami perubahan yang ditandai dengan digantikanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, menjadi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Kriteria Kota
Untuk menetapkan apakah sesuatu konsentrasi permukiman itu sudah dapat dikategorikan sebagai kota atau belum, maka perlu ada kriteria yang jelas untuk membedakannya. Salah satu kriteria yang umum digunakan adalah jumlah dan kepadatan penduduk. Bagi kota yang sebelumnya sudah berstatus kotamadya atau sudah dikenal luas sebagai kota, maka permasalahannya adalah berapa besar sebetulnya kota tersebut, misalnya ditinjau dari sudut jumlah penduduk ataupun luas wilayah yang termasuk dalam kesatuan kota. Menggunakan  jumlah penduduk berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, seringkali hasilnya tidak tepat untuk menggam-barkan besarnya sebuah kota, karena belum memenuhi persyaratan sebagai wilayah kota.
Pada kondisi lain, kota itu sebetulnya sudah melebar melampaui batas administrasinya, artinya kota itu telah menyatu dengan wilayah tetangga yang bukan berada pada wilayah administrasi  tersebut. Dalam menganalisa fungsi dan menetapkan orde perkotaan, maka luas dan penduduk didasarkan atas wilayah kota yang benar-benar telah memiliki cirri-ciri perkotaan. Permasalahan bagi konsentrasi pemu-kiman atau bagi kota kecil (ibukota kecamatan) adalah apakah konsentrasi itu dapat dikategorikan sebagai kota atau masih sebagai desa. Jadi, perlu menetapkan kriteria apakah suatu lokasi konsentrasi itu sudah memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai kota atau belum.
Badan Pusat Statistik (BPS), dalam pelaksanaan survei status desa/kelurahan yang dilakukan pada tahun 2000, menggunakan beberapa kriteria untuk menetapkan apakah suatu desa/kelurahan dikategorikan sebagai berikut : 
a.Kepadatan penduduk per kilometer persegi;
b.Persentase rumah tangga yang mata pencaharian  utamanya adalah pertanian atau non pertanian;
c.Persentase rumah tangga yang memilki telepon;
d.Persentase rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik;
e.Fasilitas umum yang ada di desa/kelurahan, seperti fasilitas pendidikan, pasar, tempat hiburan, komplek pertokoan, dan fasilitas lain seperti hotel, billiard, diskotek, karaoke dan lain-lain. Masing-masing fasilitas diberi skor (nilai). Atas dasar skor yang dimiliki desa/kelurahan maka dapat ditetapkan desa/kelurahan tersebut masuk dalam salah satu kategori berikut, yaitu perkotaan besar, perkotaan sedang, perkotaan kecil dan pedesaan.
Kriteria BPS diatas, hanya didasarkan atas kondisi (besaran) fisik dan mestinya dilengkapi dengan melihat apakah tempat konsentrasi itu menjalankan fungsi perkotaan, misalnya mata pencaharian penduduk perlu dibuat ketentuan bahwa mata pencaharian penduduknya adalah bervariasi dan tidak tergantung hanya pada satu sektor yang dominan (walaupun itu bukan pertanian). 
Dengan demikian, terdapat transaksi antar berbagai kegiatan/sektor yang bernilai ekonomi. Selain itu, perlu ditambah dengan kriteria bahwa konsentrasi itu berfungsi melayani daerah belakangnya. Artinya, berbagai fasilitas yang ada ditempat itu, seperti tempat perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, tidak hanya melayani/dimanfaatkan oleh penduduk kota itu sendiri, tetapi juga melayani masyarakat yang datang dari luar kota yang sering disebut sebagai daerah belakangnya.
Direktorat Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum (PU) secara implisit menganggap bahwa : Suatu konsentrasi pemukiman dengan kepadatan 50 jiwa atau lebih per hektar  berhak mendapat pelayanan fasilitas perkotaan, seperti pelayanan sampah dan air minum. Juga ada kriteria bahwa jaringan jalannya berlapis (berbentuk Grid, bukan ribbon type). Kriteria di atas masih perlu dipertegas tentang berapa luas wilayah minimal yang kepadatannya 50 jiwa atau lebih per hektar dalam satu kesatuan wilayah yang utuh, artinya tidak terputus-putus. Pada dasarnya untuk melihat apakah konsentrasi itu sebagai kota atau tidak, adalah dari seberapa banyak jenis fasilitas perkotaan yang tersedia dan seberapa jauh kota itu menjalankan fungsi perkotaan. Adapun fasilitas/fungsi perkotaan, antara lain sebagai berikut :
a.Pusat perdagangan;
b.Pusat pelayanan jasa;
c.Tersedianya prasarana perkotaan;
d.Pusat penyediaan fasilitas sosial;
e.Pusat pemerintahan;
f.Pusat komunikasi dan pangkalan transportasi; dan
g.Lokasi pemukiman yang tertata.
Dapat disimpulkan bahwa semakin banyak fungsi dan fasilitas perkotaan, makin menyakinkan bahwa lokasi konsentrasi itu adalah sebuah kota.

Perencanaan Tata Ruang Perkotaan
Penataan ruang khusus untuk perkotaan sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Belanda. Setelah kemerdekaan, ada pengaturan baru sejak tahun 1985 berupa Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum dalam perencanaan kota. Sesuai dengan Surat Keputusan Bersama tersebut Departemen Dalam Negeri bertangggung jawab di bidang administrasi perencanaan kota, sedangkan Departemen Pekerjaan Umum bertanggung jawab di bidang teknik (tata ruang) kota.
Atas dasar pembagian wewenang itu, Menteri  Pekerjaan Umum mengeluarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota.
Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) adalah suatu rencana pemanfaatan ruang kota, yang berisikan rencana pembangunan kota yang terkait dengan ruang, sehingga tercapai tata ruang kota yang dituju dalam kurun waktu tertentu dimasa yang akan datang. Rencana program pembangunan kota disusun untuk 20 tahun ke depan dan dibagi dalam tahapan lima tahanan. 
Dalam hal ini, harus dipadukan pendekatan sektoral dan pendekatan regional (ruang), sesuai dengan keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, terdapat 4 (empat) tingkatan rencana tata ruang kota, yaitu sebagai berikut  :
a.Rencana umum tata ruang perkotaan, yaitu menggambarkan posisi kota yang direncanakan terhadap kota lain secara nasional dan hubungannya dengan wilayah belakangnya;
b.Rencana umum tata ruang kota, yaitu menggambarkan pemanfaatan ruang kota secara keseluruhan;
c.Rencana detail tata ruang kota, yaitu menggambarkan pemanfaatan ruang kota secara lebih rinci; dan
d.Rencana teknik ruang kota, yaitu menggambarkan rencana geometri pemanfaatan ruang kota sehingga sudah bisa menjadi pedoman dalam penentuan sait (site) pembangunan/konstruksi kota.
Selanjutnya, sesuai dengan keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) setidaknya harus berisikan hal-hal sebagai berikut :
a.Kebijaksanaan pengembangan penduduk kota;
b.Rencana pemanfaatan ruang kota;
c.Rencana struktur pelayanan kegiatan kota;
d.Rencana sistem transportasi;
e.Rencana sistem jaringan utilitas kota;
f.Rencana kepadatan bangunan;
g.Rencana ketinggian bangunan;
h.Rencana pemanfaatan air baku;
i.Rencana penanganan lingkungan kota;
j.Tahapan pelaksanaan bangunan; dan 
k.Indikasi unit pelayanan kota
Kebijaksanaan pengembangan penduduk kota berkaitan dengan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk pada setiap bagian wilayah kota. Jumlah penduduk untuk keseluruhan kota harus diproyeksikan dengan memperhatikan trend masa lalu dan adanya berbagai perubahan ataupun usaha/kegiatan yang dapat membuat laju pertambahan penduduk dapat lebih cepat atau lebih lambat dari masa lalu.
Rencana struktur/pemanfaatan kota adalah perencanaan bentuk kota dan penentuan berbagai kawasan di dalam kota serta hubungan hierarki antara berbagai kawasan tersebut. Bentuk kota tidak terlepas dari sejarah perkembangan kota, namun sedikit banyak dapat diarahkan melalui penyediaan fasilitas/prasarana dan penetapan berbagai ketentuan yang berkaitan dengan tata guna lahan, sedangkan Rencana struktur pelayanan kegiatan kota menggambarkan hierarki fungsi kegiatan sejenis di perkotaan.
Kebijaksanaan Pertanahan Terhadap Perencanaan Kota 
Pengertian tanah menurut pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). “tanah adalah permukaan bumi atau kulit bumi”. Selanjutnya pasal 4 ayat (2) menjelaskan pengertian hak atas tanah, yang menyatakan : “Hak atas tanah adalah hak untuk menggunakan tanah sampai batas-batas tertentu meliputi tubuh bumi, air, dan ruang angkasa diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah”. Hal ini, dipertegas kembali dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menyatakan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
Selanjutnya dalam Penjelasan Umum angka II (4) dikemukakan, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan digunakan (atau tidak digunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apabila kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah atau lahan harus disesuaikan dengan keadaaan dan sifat dari haknya, sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai dan juga bagi masyarakat dan negara.
Pasal 16 UUPA mewajibkan pemerintah untuk menyusun rancangan umum mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk berbagai macam keperluan pembangunan. Dalam UUPA sendiri tidak ada penegasan arti dari persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah tersebut. Namun, nampak dari tujuan dari setiap rencana itu tidak lain adalah untuk mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yakni untuk kemakmuran rakyat.
Rencana umum peruntukan tanah harus sepenuhnya didasarkan pada kondisi objektif tanah dan keadaan lingkungan, oleh karena itu rencana umum peruntukan tanah di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota seharusnya memiliki kesamaan. Rencana umum persediaan tanah adalah suatu usaha pemenuhan kebutuhan tanah untuk berbagai pembangunan, yang dikaitkan dengan rencana umum peruntukan tanah. Persediaan tanah untuk pembangunan yang baik adalah persediaan tanah yang didasarkan pada kondisi obyektif fisik tanah .
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dapat dirumuskan bahwa yang di maksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan pengadaan tanah dalam kontek ini adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
Kaitannya antara pengadaan tanah bagi kepentingan umum dengan rencana tata ruang disebutkan, bahwa pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila penetapan rencana pambangunan untuk kepentingan umum tersebut sesuai dan berdasarkan pada Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW) yang telah ditetapkan terlebih dahulu.

Sabtu, 07 Juli 2012

CHEAT GAME KUIS PARAMPAA


waaaaah bagi temen-temen yang suka main kuis pamparampaa yang kesulitan buat mainnya nie ada cheat nya looo...

di coba aja game nya dan kalo kesulitan bisa di coba cheat di bawah ini


1.Klik ” Mulai ”
2.Klik ” A ”
3.Klik lingkaran kecil di huruf ” i ” yg adaa ditulisan ” kecil ”
4.Klik ” AY ”
5.Klik ” B ”
6.Klik tulisan ” Yup! ”
7.Klik ” Jali ”
8.Klik ” ? ” yg sama dg gambar di atas
9.Ingat… langsung tekan OK
10.Klik ” b ”
11.Klik ” Mati ” Pada tulisan ” Matematika ”
12.Klik aja
13.Klik ” 13 ” Pada tulisan ” Level 13 ”
14.Klik ” Merah-Biru-Kuning-Merah-Hijau ”
15.Tekan ” Spasi ” di keyboard
16.Lari ke ujung kanan atas!
17.Gerakin cicaknya sampai ke tujuan.Jangan kena yg warna hitam
18.Klik huruf ” P A N D A ”
19.Klik ” 21 ”
20.Klik ” D ”
21.Klik ” E ”
22.Potong Kabel /Kertas merah di bom
23.Klik ” 23 ” di baris ke 3 dan ke 3 dr kiri
24.Pilih latar warna ” Merah-biru-kuning-merah-hijau ” ,Jangan di baca tulisannya!
25.KLik lingkaran oren ,trus kalo mau ke yg satu lagi ” mouse keluar dri area permainan trus masuk ke lingkaran satu lagi ”
26.Klik persegi panjang yg ” kiri bawah ”
27.Klik ” cicak ” yg ada di bawah 3 hati
28.KLik Black Hole .terus tekan terus mousnya sampai meteornya ga ada lagi ” nanti ada black hole merah ” terus klik black hole merahnya
29.susun puzzlenya,terus klik ” lingkaran ” yg di tunjuk panah
30.Klik ” 20 ”
31.Klik lingkaran oren.terus tekan mousenya terus, sampai ke lingkaran satu lagi
32.Klik ” TDAJ ”
33.Klik ” 100001 ”
34.Klik ” 3 hati ” yg ada di pojok kanan
35.Klik tombol ” merah-biru-kuning-merah-hijau ”
36.Drag tulisan ” level 36 ” .terus klik ” tombol ” di situ
37.Klik ” Zibba ”
38.Tembak ” cowo ”
39.Kliok ” level 39 ”
40.Klik di keyboard ” -> ”
41.Klik huruf ” ! ”
42.Jangan tekan apa2.tunggu sampai selesai
43.Klik ” Pulau Lombok ”
44.Tekan ” 1 ” Pda soal 1=5
45.Klik ” 45 ” Pada tulisan level 45f
46.Urutan nadanya adl C D E F G A B.Terus klik nada agar membentuk ” E G G ”
47.Tembak ” Cowo ”
48.Tulis jawaban ” 11 ”
49.Klik tulisan ” run! ” sampai kepitingnya hilang
50.Tekan angka ” 1 ” di keyboard
51.Lolosin kuncinya,jangan kena area berwarna hitam(Biasanya ada tulisan disitu)
52.Drag tanda (-) Ke tulisan level 52.nanti akan menjadi 5-2 terus di klik
53.tekan ” S ” di keyboard
54.Klik ” 5 ”
55.Ketik ” Anini ” di keyboard
56.Drag tulisan ” bulan ” ,terus klik jawaban yg ada di situ
57.Bolak balik mouse ditanda ” ! ”
58.Klik warna ” Kuning ”
59.Klik warna ” hijau-oren-ungu-hijau –merah ”
60.Klik huruf ” B O N O ”
61.Klik nada hingga membentuk kata ” C A G E ”
62.Jangan tekan apa apa!
63.Klik ” eve ” pada tulisan level 63
64.Klik ” Parampaa ”
65.Klik ” Mr.Krab-Smurf-The Simpson-Mr.Krab-Parampaa ”
66.Ketik ” one ” di keyboard
67.Klik ” Titik-Matahari-Pohon ”
68.Tekan ” F1-F4 ” Di bagian atas keyboard
69.KLik huruf ” A ” di tengah huruf heart
70.Kli jawaban ” 10 ”
71.Tekan ” Shift-6 ” sampai doraemon hilang
72.Tangkap angka ” 2 ” terus drag ke angka 7 pada level 7…
73.Klik ” disket besar-disket kecil-Flashdis-Kaset-Dan yg pertama? ”
74.Klik ” Lingkaran besar kuning tersenyum ”
75.tembak kata ” HER ”
76.Klik kanan mouse,terus nanti muncul mousenya,terus klik tengah huruf ” o ” ,ikutin tanda panahnya hingga ada lingkaran di sekitar tengah huruf ” G ” pada tulisan ” NGGAK ”
77.drag tulisan mouse ke lingkaran,nanti akan muncul kotak,terus drag lagi tulisan mouse-nya ke kotak terus tekan kotaknya
78.Klik pas lampu vilanya hidup
79.Tulis ” TRY AGAIN ”
80.tulis ” the cranberries ”
81.klik ” 13 ”
82.Klik saja huruf yg tertutup bom ” biasanya d f g h ”
83.klik di keyboardd ” ? ”
84. tekan waktunya pas ada tulisan ” s7op ” pada detik ke-3
85.ketik ” level 85 ” ketik ”
 :_D ” ketik ” you’re welcome ”
86.Klik bagian tengah lingkaran pada diantara angka 8 ,pada tulisan ” level 86 ”
87.Mouse keluar dari layar permainan,tunggu kuncinya masuk,pas udah masuk tekan ” enter ” di keyboard
88.Tekan ” F8 ” di keyboard,terus klik ” safe mode ”
89.tekan buku warna ” biru-ungu-kuning-ungu ”
90.Klik lambing dari ” baris pertama yg ke-3 ” dan ” baris ketiga yg pertama ”
91+.klik ” mana saja ”
91.gerakin orangnya dengan menggunakan ” Wa s d ” ,ambil kuncinya,masuk ke pintu
92.KLik warna ” hijau-merah-kuning-biru-merah ”
93.Hitung warna linkaran ” merahnya ”
94.Klik ” Budi ”
95.Klik ” lanjut? ” pada waktu latarnya berwarna ” Hijau ”
96.Klik ” mata-duri kepala-latar merah-rumput-bintik tangan ”
97.klik ” tombol merah ”
98.Sentuh terus ” bulatannya ” ,nanti yg terakhir ada di antara ” level 98 ”
99.klik saja ” orangnya ”
100.tulis ” 91483 “

Selamaaaat Mencobaa....

KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENGANGKATAN ANAK SECARA ILEGAL


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan anugerah terindah yang tidak tergantikan dalam sebuah keluarga. Setiap orang yang berumah tangga sangat menginginkan akan hadirnya seorang anak. Anak dapat memberikan hiburan tersendiri kepada orang tua di kala mereka penat dengan kegiatan sehari-hari. Selain itu, anak juga merupakan penerus keturunan dalam keluarga.
Tidak semua keluarga memiliki kesempatan untuk memiliki anak kandung. Banyak hal yang menyebabkan hal ini. Bisa jadi karena alasan medis, karena usia, atau karena memang belum “dipercaya” untuk memiliki anak oleh Tuhan. Bagi keluarga yang belum dikaruniai anak, adopsi merupakan jalan yang tepat. Banyak keluarga yang mengadopsi anak sebagai “pancingan” agar secepat mungkin dikaruniai anak kandung. Namun ada juga yang mengadopsi anak untuk meringankan beban orang tua kandung si anak, terlebih lagi jika orang tua kandung anak tersebut berasal dari keluarga yang tidak mampu.
Jika dalam perkawinan itu tidak diperoleh anak berarti tidak ada yang melanjut keturunan dan kerabatnya, yang dapat mengakibatkan punahnya kerabat tersebut. Oleh karena itu orang akan melakukan cara apa saja dan mengorbankan biaya berapa saja mendapatkan anak dalam perkawinan bahkan ada yang melakukan program bayi , tidak jarang juga mendapatkan anak walaupun telah berusaha secara maksimal sehingga pengangkatan anak (adopsi) dianggap sebagai jalan terakhir.
Pengangkatan yang lazim disebut adopsi merupakan lembaga hukum yang dikenal sejak lama dalam budaya masyarakat Indonesia bermaca-macam motif orang melakukan pengangkatan anak, sehingga mengadopsi seorang anak tidak bisa dilakukan dengan “asal-asalan”. Ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang adopsi anak.
Peraturan mengenai tata cara dan akibat hukum dari pengangkatan anak itu sendiri juga bersifat pluralistik di Indonesia. Masing-masing etnis dan golongan penduduk mempunyai aturan sendiri mengenai prosedur dan akibat hukum pengangkatan anak. Keanekaragaman ini sering menyebabkan ketidakpastian dan masalah hukum yang tidak jarang menjadi sengketa pengadilan. Eksistensi adopsi di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum masih belum sinkron, sehingga masalah adopsi masih merupakan problema bagi masyarakat, terutama dalam masalah yang menyangkut ketentuan hukumnya. Ketidaksinkronan tersebut sangat jelas dilihat, kalau dipelajari ketentuan tentang eksistensi lembaga adopsi itu sendiri.
Masalah pengangkatan anak semakin menarik perhatian untuk dikaji setelah berlakunya Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, oleh Kompilasi Hukum Islam mengakui adanya hubungan hukum antara anak angkat dan orang tua angkat berupa wasiat wajibah dalam pasal 299. sehingga mengenai pengangkatan anak merupakan topik yang sangat menarik dibahas. Selain itu isu adopsi oleh orang warga negara asing kembali mencuat pasca bencana tsunami dan gempa di Nanggroe Aceh Darussalam. Dimana sejumlah masyarakat berkeinginan untuk mengadopsi anak-anak Aceh korban tsunamiBerita hilangnya 300 anak pasca bencana tsunami Aceh yang dilarikan oleh World Help sampai hari ini tidak jelas penyelesaianya, dan banyak pihak menduga anak-anak ini dilarikan ke Amerika.
Pada mulanya pengangkatan anak hanya dilakukan semata-mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan/marga dalam suatu keluarga yang tidak mempunyai anak kandung. Disamping itu juga untuk mempertahankan ikatan perkawinan. Sehingga tidak timbul perceraian. Tetapi dalam perkembangannya kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan adopsi telah berubah menjadi untuk kesejahteraan anak. Hal ini tercantum dalam Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang No 4 Tahun 1979, yang berbunyi “pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”.
Namun masih ada juga penyimpangan-penyimpangan seperti misalnya ingin menambah/mendapatkan tenaga kerja yang murah. Ada kalanya keluarga yang telah mempunyai anak kandung, merasa perlu lagi untuk mengangkat anak yang bertujuan untuk menambah tenaga kerja dikalangan keluarga atau karena kasihan terhadap anak yang diterlantarkan.
Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan.
Kenyataan sosial pengangkatan anak merupakan salah satu aspek dalam hubungan antar bangsa dan anak negara. Pengangkatan anak semacam itu menimbulkan masalah baru yaitu masalah pengangkatan anak antar negara. Namun demikian hingga kini belum dijumpai literatur yang memadai tentang pengangkatan anak antar negara, demikian pula mengenai undang-undang tentang pengangkatan anak yang sejak tahun 1982 masih tetap menjadi rancangan undang-undang.
Dalam proses pengangkatan anak, anak tidak mempunyai kedudukan yang sah sebagai pihak yang membuat persetujuan. Anak merupakan objek persetujuan yang dipersoalkan dan dipilih sesuai dengan selera pengangkat. Tawar-menawar seperti dalam dunia perdagangan dapat selau terjadi. Pengadaan uang serta penyerahaan sebagai imbalan kepada yang punya anak dan mereka yang telah berjasa dalam melancarkan pengangkatan merupakan petunjuk adanya sifat bisnis pengangkatan anak.
Sehubungan dengan ini, maka harus dicegah pengangkatan anak yang menjadi suatu bisnis jasa komersial. Karena hal itu sudah bertentangan dengan azas dan tujuan pengangkatan anak.
Menurut azas pengangkatan anak, maka seorang anak berhak atas perlindungan orang tuanya, dan orang tuanya wajib melindungi anaknya dengan berbagai cara. Oleh sebab itu hubungan antara seorang anak dengan orang tua harus dipelihara dan dipertahankan sepanjang hidup masing-masing. Pelaksanaan pengangkatan anak pada hakekatnya merupakan suatu bentuk pemutusan hubungan antara orang tua kandung dengan anak kandung. Dengan demikian, maka pengangkatan anak adalah pada dasarnya tidak sesuai dengan azas pengangkatan anak dan tidak dapat dianjurkan.
Pengangkatan anak pada hakekatnya dapat dikatakan salah satu penghambat usaha perlindungan anak. Oleh sebab pengangkatan anak yang pada hakekatnya memutuskan hubungan antara orang tua kandung dengan anak kandung, menghambat seorang ayah kandung melaksanakan tanggung jawabnya terhadap anak kandung dalam rangka melindungi anak (mental, fisik,dan sosial). Pengangkatan anak tidak memberikan kesempatan anak melaksanakan hak dan kewajibannya terhadap orang tua kandungnya. Hal ini tidak mendidik dan membangun kepribadian seorang anak. Kalaupun upaya adopsi berhasil, pasal 40 UU perlindungan anak masih mewajibkan orang tua angkat memberitahukakan asala-usul orang tua kandung kepada anak kelak.
Pengangkatan anak menyangkut nasib anak yang harus dilindungi, sebab anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cta perjuangan bangsa. Anak mempunyai peran yang strategis dalam menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan, oleh karena itu setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhalak mulia. Oleh sebab itu juga pengangkatan anak harus menjadi pokok perhatian perlindungan anak, serta pelaksanaannya harus diamankan oleh hukum perlindungan anak demi perlakuan adil dan sejahtera bagi kehidupan anak.
Pengangkatan anak akan mempuyai dampak perlindungan anak apabila syarat-syarat seperti dibawah ini dipenuhi, yaitu;
1.        diutamakan pengangkatan anak yang yatim piatu
2.        anak yang cacat mental, fisik, sosial,
3.        orang tua anak tersebut memang sudah benar-benar tidak mampu mengelola keluarganya
4.        bersedia memupuk dan memelihara ikatan keluarga anatara anak dan orang tua kandung sepanjang hayatnya
5.    hal-hal lain yang tetap mengembangkan manusia seutuhnya.
Permasalahan pengangkatan anak jelas begitu kompleks dan rumit dan dapat membuat anak tidak mampu melindungi dirinya sendiri menjadi korban non struktural dan struktural. Oleh karena itu Mahkamah Agung tidak menutup mata dengan banyak masalah yang terjadi pada pengangkatan anak sehingga aturan yang dulu dipakai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 tahun 1979, disempurnakan lewat Surat Edaran Mahkamah agung (SEMA) No. 6 tahun 1983
Dengan banyaknya permohonan pengangkatan anak baik didalam negeri maupun antar negara. Terlebih melihat modernisasi negara-negara barat yang telah melahirkan tingkat kemakmuran tinggi yang membawa perubahan jalan fikiran tentang perkawinan dan keluarga dimana kaum wanita tidak ingin menikah, ataupun kalau menikah mereka tidak ingin memiliki anak. Mereka rela mengeluarkan biaya yang besar untuk mengadopsi anak Kebutuhan Adopsi massal ini yang menyebabkan ada pihak-pihak yang menarik banyak keuntungan yang tidak pada tempatnya. Pada sisi lain negara-negara berkembang seperti Indonesia masih dipenuhi warga miskin dengan segala persoalannya, yang kemudian menjadi sasaran pencarian anak-anak yang akan diadopsi melalui proses perdagangan. Hal ini disertai Kemudahan-kemudahan untuk mendapatkan keterangan-keterangan dari kelurahan atau kepala desa dan kurangnya pengamatan/penelitian dapat mengakibatkan lolosnya permohonan pengangkatan anak antar negara tanpa memperhatikan aspek keamanan negara. Seperti kasus Tristan dowse, korban penjualan anak berkedok adopsi adalah kasus yang besar tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara asal orang tua yang mengadopsinya, Irlandia. Setelah melalui proses hukum tristan kembali ke ibu kandungnya. Tristan adalah salah satu contoh adopsi orang asing, walaupun dalam praktek terdapat jual beli. Adopsi anak bernama asli Erwin disahkan Pengadilan Negeri Jakarta selatan. Diyakini ada banyak kasus sejenis terjadi meskipun belum terungkap kepermukaan. Umumnya terjadi melalui sindikat perdagangan bayi.
Diyakini di Indonesia ada ratusan ribu anak yang belum mendapat pengasuhan dan perlindungan sangat rentan dengan adopsi yang tidak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku (adopsi Ilegal) hal ini justru membuat anak tidak bahagia karena ada yang dieksploitasi bahakan ditelantarkan kembali oleh orang tua yang mengadopsinya.
Oleh karena itu terlepas dari siapapun yang hendak mengadopsi dan dengan alasan apapun hendak mengasuh dan mengadopsi anak harus sesuai dengan prosedur yang diatur dalam hukum. Hal ini untuk mencegah terjadinya Traffiking anak sebab trafficking bukan saja persoalan penjualan anak untuk eksploitasi baik seksual maupun tenaga, tetapi juga penjualan bayi yang masih dalam kandungan, dan anak-anak dengan dalih adopsi.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.                  Bagaimana peraturan hukum mengenai pengangkatan anak (adopsi) dan prosedur pengangkatan anak?
2.                  Bagaimana implementasi hak anak dalam hukum nasional?
3.                  Bagaimana sanksi pidana bagi pelaku pengangkatan anak secara ilegal?