Senin, 30 Januari 2012

ASPEK PERTANAHAN DALAM PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN (SAWAH)

A.    JUDUl : ASPEK PERTANAHAN DALAM PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN (SAWAH)

B.    RUMUSAN PERMASALAHAN
Tulisan ini mencoba mendiskusikan keberadaan lahan sawah dan konflik kepentingan penggunaannya serta kedudukan instrumen kebijakan pertanahan dalam rangka mempertahankan kelangsungan sektor pertanian, terutama pengendalian terhadap pemanfaatan lahan pertanian bagi kepentingan pembangunan di sektor nonpertanian.
Secara ringkas tulisan ini akan mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan:
a)    Bagaimana kebijakan pembangunan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi..?
b)    Apakah dampak perubahan lahan sawah menjadi nonsawah..?

C. PEMBAHASAN
1.Kebijakan Pembangunan Memacu Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan Nasional pada periode 1990-1998 yang ditandai dengan deregulasi ekonomi, pemacuan Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri dan pemacuan pembangunan nonmigas (industri dan properti) telah menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang sangat nyata. Namun disisi lain sebagai konsekuensi dari proses transformasi struktur ekonomi (dari pertanian ke nonpertanian) tersebut, selain adanya perubahan aspek demografis (pedesaan ke perkotaan), perubahan ini telah memberi dampak khusus bagi kelangsungan lahan pertanian (termasuk sawah beririgasi).
Dalam konteks pembangunan di Pulau Jawa, jumlah keluarga atau rumah tangga
yang hidup dari sektor nonpertanian mencapai 100%. Beberapa faktor penting yang berpengaruh pada perubahan pola pemanfaatan lahan pertanian di Pulau Jawa yaitu factor privatisasi pembangunan kawasan industri, pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru, serta deregulasi investasi dan kemudahan perizinan.
Tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian ialah:
1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. Dampak kebijakan ini sangat berpengaruh pada peningkatan kebutuhan lahan sejak tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi subur dan menguntungkan dari ketersediaan infrastruktur ekonomi.
2. Kebijakan pemerintah lainnya yang sangat berpengaruh terhadap perubahan fungsi lahan pertanian ialah kebijakan pembangunan permukiman skala besar dan kota baru. Akibat ikutan dari penerapan kebijakan ini ialah munculnya spekulan yang mendorong minat para petani menjual lahannya.
Diperkirakan kehilangan tanah sawah beririgasi teknis sebelum krismon mencapai rata-rata luas sebesar 50.000 hektar pertahun. Jika diperkirakan biaya untuk membuat sawah irigasi teknis dengan produktivitas tinggi itu mencapai Rp. 10.000.000,- berarti diperlukan dana sebesar Rp. 5.000.000.000,- per tahun untuk mencetak sawah.
Hal ini juga tidak mudah mengingat diperlukan waktu yang cukup lama, kurang lebih 5 tahun untuk membentuk ekosistem sawah itu sendiri.
Selain dua kebijakan tersebut, kebijakan deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai Paket Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam pemrosesan perizinan lokasi. Akibat kebijakan ini ialah terjadi peningkatan sangat nyata dalam hal permohonan izin lokasi baik untuk kawasan industri, permukiman skala besar, maupun kawasan pariwisata.
2. Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Sawah Menjadi Nonsawah
 Terjadinya perubahan penggunaan lahan dapat disebabkan karena adanya perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan karena mekanisme pasar. Pada masa lampau yang terjadi adalah lebih banyak karena dua hal yang terakhir, karena kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai tata ruang wilayah, atau rencana tata ruang wilayah yang sulit diwujudkan. Sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal maupun luar negeri dalam penyediaan tanahnya, maka perubahan penggunaan tanah dari pertanian ke nonpertanian terjadi secara meluas.
Untuk melihat seberapa besar terjadinya perubahan penggunaan tanah tersebut,dapat dilhat angka-angka selama kurun waktu pembangunan lima tahun ke enam (1994/1995-1998/1999). Dalam kurun waktu tersebut diatas luas tanah pertanian yang berubah ke nonpertanian adalah 61.245 ha. Perubahan penggunaan tanah ke industri adalah yang terbesar (65%), kemudian diikuti dengan pemukiman atau perumahan (30%).
Perubahan besar-besaran terjadi pada tahun 1994/1995 untuk perumahan, yaitu seluas 10.645 ha dan tahun 1996/1997 untuk industri, yaitu seluas 22.597 ha. Setelah itu dengan terjadinya krisis ekonomi yang mengakibatkan menurunnya investasi, perubahan penggunaan tanah pertanian baik untuk perumahan maupun industri menurun drastis yaitu 1.837 ha untuk perumahan dan hanya 131 ha untuk industri pada akhir Pelita VI. Dalam kurun waktu Pelita VI persentase tanah sawah yang berubah menjadi perumahan adalah 30% sedangkan yang berubah menjadi industri adalah 65% di seluruh Indonensia.
Apabila diamati sebaran perubahan tanah sawah menjadi nonsawah di seluruh Indonesia pada awal Pelita VI (1994/1995), sawah banyak berubah menjadi permukiman seluas 10.644 ha, terbesar terjadi di Sumatera Selatan dan Jawa Timur, sedangkan perubahan ke industri belum terlihat secara nyata. Pada tahun berikutnya perubahan tanah sawah menjadi permukiman menurun yaitu seluas 1.175 ha, sebagian besar terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebaliknya perubahan ke industri meningkat tajam yaitu seluas 16.054 ha.
Perubahan tersebut sebagian besar terjadi di Jawa Timur yaitu 15.922 ha. Pada Tahun 1996/1997 perubahan tanah sawah untuk permukiman meluas lagi menjadi 3.538 ha dan begitu juga perubahan ke industri meluas menjadi 22.597 ha. Perubahan-perubahan tersebut terutama terjadi di Jawa Barat. Pada tahun berikutnya perubahan yang terjadi untuk perumahan yang terbanyak terjadi di Jawa Barat dan Jawa Timur. Pada akhir Pelita VI perubahan kearah permukiman mengalami kenaikan.
Jika diamati keadaan tersebut nampak jelas terjadi perkembangan yang tidak seimbang dalam hal pembangunan permukiman dan industri. Hal ini dapat dipahami mengingat jumlah penduduk di Pulau Jawa yang lebih besar dari daerah lain, dan fasilitas seperti transportasi, ekonomi, pemerintahan, sumber energi listrik, air, serta pelayanan diberbagai bidang cukup tersedia, sehingga pembangunan perumahan maupun industry terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Secara prosedural para investor mengajukan permohonan ijin lokasi, yang didahului dengan adanya ijin prinsip dari Pemerintah Daerah. Untuk tingkat II pembangunan perumahan atau persetujuan prinsip dari instansi teknis,pembina kegiatan yang berhubungan dengan sektor industri, pertanian dan kegiatan sektoral lainnya untuk
Penanaman Modal Asing oleh Keputusan Presiden. Dalam persetujuan prinsip/ijin prinsip tersebut di atas biasanya sudah dicantumkan nama lokasi sampai ke tingkat desa, Badan Pertanahan Nasional tinggal melanjutkan proses ijin lokasi untuk perolehan tanahnya
Terkonsentrasinya pembangunan perumahan dan industri di Pulau Jawa, di satu sisi menambah terbukanya lapangan kerja di sektor nonpertanian seperti jasa konstruksi, dan industri, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan.
Dampak negatif tersebut antara lain :
1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan.
2. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sector pertanian ke nonpertanian, yang apabila tenaga kerja lokal yang ada tidak terserap seluruhnya justru akan meningkatkan angka pengangguran. Dampak sosial ini akan berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat setempat terhadap pendatang yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan konflik sosial.
3. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak optimal pemanfaatannya.
4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun industri,sebagai dampak krisis ekonomi, atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh, sehingga meningkatkan luas tanah tidur yang pada gilirannya juga menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah.
5. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa yang konon terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun, sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan Tengah, tidak memuaskan hasilnya.
Pertimbangan aspek pertanahan atau lebih dikenal dengan aspek penatagunaan tanah merupakan salah satu instrumen yang secara operasional telah digunakan untuk menggambarkan kondisi objektif dan terbaru (present landuse) dari suatu bidang tanah.Secara fungsional pertimbangan aspek penatagunaan tanah ini memiliki lima kegunaan sebagai berikut:
1. Sarana pengendali dan pemantauan perubahan penggunaan tanah yang dibuat dalam rangka pemberian ijin lokasi, pemberian hak atas tanah, permohonan perubahan penggunaan tanah dan kegiatan pembangunan lainnya yang berkaitan dengan penatagunaan tanah.
2. Sarana pengendali penggunaan tanah dalam rangka kegiatan pembangunan agar tidak terjadi tumpang tindih (over-lapping) lokasi dengan arahan tata ruang wilayah dan ketentuan teknis lainnya yang telah digariskan.
Bahan pertimbangan kepada pimpinan dalam pengambilan keputusan yang sekaligus menjadi sarana koordinasi teknis antar sektor dalam rangka mengarahkan lokasi pembangunan.
Bahan pertimbangan instansi dan dinas terkait dalam rangka pemberian ijin pembangunan sesuai dengan kewenangannya menurut ketentuan peraturan dan perundangan yang berlaku.
Bahan informasi dalam upaya pengembangan sistem informasi pertanahan dalam rangka pengendalian dan evaluasi serta pemberian bimbingan penggunaan tanah guna peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Penerapan ke lima fungsi pertimbangan aspek pertanahan tersebut secara optimal oleh pemerintah daerah dapat menjadi sarana yang efektif dalam menjabarkan kebijaka pertanahan untuk memantau dan membatasi perubahan tanah pertanian (tanah sawah) ke penggunaan tanah nonpertanian, yaitu adanya penilaian kondisi tanah yang terbaru dan pertimbangan aspek-aspek pembangunan lainnya. Adapun kewajiban pemohon adalah memberikan gambaran kondisi tanah pada saat pengajuan permohonan ijin perubahannya meliputi:
1. Jenis penggunaan tanah.
2. Kesuburan dan produktivitas tanah.
3. Status penggunaan tanah.
4. Faktor-faktor lingkungan.
5. Rencana tata ruang wilayah maupun rencana pembangunan daerah.
6. Prasarana, sarana dan fasilitas lingkungan di lokasi kegiatan sekitarnya yang akan terkena dampak kegiatan pemohon, dan
7. Faktor-faktor pendukung dan penghambat lainnya.
Sedangkan beberapa pertimbangan penting bagi pemerintah daerah dalam mengambil keputusan untuk mengalihkan atau melarang alih fungsi tanah pertanian setelah mengkaji kondisi tanah di atas ialah:
1. Pertimbangan kesesuaian rencana pemohon dengan rencana tata ruang wilayah.
2. Pertimbangan kesesuaian rencana pemohon dengan rencana pembangunan daerah.
3. Pertimbangan kewenangan menggunakan tanah sesuai dengan jenis hak atas tanah.
4. Pertimbangan kewajiban mengusahakan tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5. Pertimbangan terhadap peningkatan nilai, produksi dan kesuburan tanah.
6. Pertimbangan kelestarian lingkungan hidup dan pencegahan kerusakan tanah.
7. Pertimbangan larangan menelantarkan tanah.
Adapun gambaran penerapan instrumen pertimbangan aspek pertanahan ini dilakukan pengkajian di dua kabupaten di Propinsi Jawa Barat. Dari data yang diperoleh pada dua sampel yaitu di Kantor Pertanahan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang terlihat bahwa pada pemberian ijin lokasi, perubahan penggunaan tanah dan pemberian hak atas tanah, telah dilakukan pemberian pertimbangan aspek penatagunaan tanah sebanyak 259 buah pada Kabupaten Purwakarta dan 56 buah pada Kabupaten Subang pada Tahun 1996-1997. Secara objektif, data dari dua kantor pertanahan tersebut menunjukkan tidak terjadi perubahan penggunaan tanah pada sawah beririgasi walaupun di sebagian wilayah Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa Barat secara statistik diperkirakan telah terjadi alih guna tanah sawah beririgasi sekitar 8.900 ha/th.
Pertimbangan aspek penatagunaan tanah selama ini baru diberikan jika secara resmi pemilik tanah atau pihak pengembang ingin mengurus ijin penggunaan tanah atau perubahan penggunaan tanahnya. Namun disadari bahwa pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat tanpa melalui proses perijinan secara formal ini justru jumlahnya lebih banyak. Kekosongan dan ketidak tegasan aturan pelaksana di daerah untuk mencegah terjadinya alih fungsi tanah pertanian secara sewenang-wenang sering dimanfaatkan oleh para spekulan atau pihak-pihak yang hanya berorientasi kepada profit saja.
Dalam mempertimbangan aspek penatagunaan tanah ini, pemerintah daerah memiliki sarana yang memadai untuk memonitor dan membatasi upaya para pemilik tanah yang secara sengaja merubah fungsi tanah pertanian yang mereka kuasai atau miliki, dengan cara:
1. Menutup saluran-saluran irigasi yang mengairi sawah beririgasi teknis mereka.
2. Mengeringkan sawah beririgasi teknis miliknya dan menjadikannya untuk penggunaan pertanian tanah kering.
3. Menimbun sawah beririgasi teknis miliknya untuk keperluan bangunan.
4. Menjual tanah tegalan/tanah kering, hasil perubahan sah di atas tanpa ijin dalam upaya menghindari larangan.

D.    PENUTUP
Mewaspadai era globalisasi dan pasar bebas sejalan dengan meningkatnya arus investasi ke Indonesia, intensitas konflik pemanfaatan tanah pertanian akan semakin dilematis mengingat peluang perluasan lahan pertanian sudah sangat terbatas. Sementara, tuntutan terhadap kebutuhan lahan untuk perkembangan sektor industri, jasa, dan property semakin meningkat dan tidak mungkin terhindarkan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi regional. Bila keadaan dilematis ini tidak segera diatasi dengan mengembangkan kebijakan pertanahan maka kelangsungan sistem pertanian akan terganggu.
Secara nasioanl, luas tanah sawah adalah kurang lebih 7,8 juta ha, dimana 4,2 juta ha berupa sawah irigasi dan sisanya 3,6 juta ha berupa sawah nonirigasi. Selama Pelita VI tidak kurang dari 61.000 ha lahan sawah telah berubah menjadi penggunaan lahan nonpertanian. dari luas lahan sawah ini telah beralih fungsi menjadi perumahan (30%),industri (65%), dan sisanya (5%) beralih fungsi penggunaan tanah lain.
Menyadari permasalahan tersebut, pemerintah telah menetapkan beberapa ketentuan di dalam kebijakan untuk membatasi dan atau mencegah konversi lahan pertanian yang subur menjadi penggunaan lahan nonpertanian, salah satunya adalah kebijakan pertanahan yang menggunakan instrumen pertimbangan aspek penatagunaan tanah.

E.    DAFTAR PUSTAKA
Asyk , Masri. 1995. Penyediaan Tanah untuk Pembangunan, Konversi Lahan Pertanian dan Langkah Penanggulangannya, Tinjauan Propinsi Jawa Barat. Makalah dalam Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. Bogor, 31 Oktober-2 November 1995.(Tidak dipublikasikan).
Bachtiar Sony. 199. Pengendalian Alih Guna Tanah Pertanian. Proyek Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanahan, Puslitbang BPN, Jakarta. (Tidak dipublikasikan).
BPS. 1994. Sensus Pertanian 1993. Jakarta.
Direktorat Penatagunaan Tanah, Kantor Badan Pertanahan Nasional. 1998. Himpunan Makalah yang Berkaitan dengan Kebijaksanaan Pertanian. Publikasi 28, Jakarta.
Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional. 1997. Himpunan Peraturan Perundangan yang Terkait dengan Izin Lokasi, Jakarta.
Kustiawan, Iwan. 1997. Permasalahan Konversi Lahan Pertanian dan Implikasinya terhadap Penataan Ruang Wilayah (Studi Kasus: Wilayah Pantura Jawa Barat). Jurnal
Puslitbang-BPN. 1996. Laporan Akhir Penelitian Alih Guna Tanah Pertanian, Jakarta.
Pakpahan Moshedayan. 2000. Aspek Penatagunaan Tanah sebagai instrumen pengendali pemberian hak dan perubahan fungsi tanah. Karya Ilmiah. Pusat Penelitian dan Pengembangan, Badan Pertanahan Nasional. Jakarta.
Suwarno, Suryo. 1996. Alih Guna Tanah Pertanian dan Penanggulangannya. Jakarta.
Tumenggung, Yuswanda A. 1999/2000. Penataan dan Reposisi di Bidang Pertanahan.Makalah dalam Seminar Nasional Pengelolaan Pertanahan dalam Menyongsong Otonomi Daerah. Proyek Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanahan, Jakarta.
URDI. 1998. Dampak Krisis Ekonomi dan Penataan Kembali Pengembangan Wilayah dan Kota.

1 komentar:

  1. Saya tidak bisa cukup berterima kasih kepada layanan pendanaan lemeridian dan membuat orang tahu betapa bersyukurnya saya atas semua bantuan yang telah Anda dan staf tim Anda berikan dan saya berharap untuk merekomendasikan teman dan keluarga jika mereka membutuhkan saran atau bantuan keuangan @ 1,9% Tarif untuk Pinjaman Bisnis. Hubungi Via:. lfdsloans@lemeridianfds.com / lfdsloans@outlook.com. WhatsApp ... + 19893943740. Terus bekerja dengan baik.
    Terima kasih, Busarakham.

    BalasHapus