PEMBERIAN IZIN PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT
DALAM KONTEKS PENATAAN RUANG
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih menghadapi permasalahan
besar dalam perkembangan kota-kotanya. Fenomena urbanisasi yang terjadi di
kota-kota besar mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan ruang kota, seperti
fasilitas perumahan, sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia.
Pada tahun 1980 penduduk perkotaan berjumlah sekitar 32,85 juta
(22,27% dari jumlah penduduk nasional). Tahun 1990 jumlah penduduk perkotaan
menjadi sekitar 55,43 juta (30,9% dari jumlah penduduk nasional). Tahun 1995
jumlah penduduk perkotaan menjadi sekitar 71.88 juta (36,91% dari jumlah
penduduk nasional).
Saat ini jumlah penduduk perkotaan seluruhnya diperkirakan
mencapai hampir 110 juta orang, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 3 juta
orang. Sensus penduduk tahun 2000 mencatat total jumlah penduduk adalah
206.264.595 jiwa. 2Tingkat urbanisasi mencapai 40% (tahun 2000), dan
diperkirakan akan menjadi 60% pada tahun 2025 (sekitar 160 juta orang)3. Laju
pertumbuhan penduduk perkotaan pada kurun waktu 1990-2000 tercatat setinggi
4,4%/tahun, sementara pertumbuhan penduduk keseluruhan hanya 1,6%/tahun.
Perkembangan kota-kota yang pesat ini disebabkan oleh perpindahan
penduduk dari desa ke kota, perpindahan dari kota lain yang lebih kecil,
pemekaran wilayah atau perubahan status desa menjadi kelurahan. Ruang dilihat sebagai wadah
dimana keseluruhan interaksi sistem sosial (yang meliputi manusia dengan
seluruh kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya) dengan ekosistem (sumberdaya alam
dan sumberdaya buatan) berlangsung. Ruang perlu ditata agar dapat memelihara
keseimbangan lingkungan dan memberikan dukungan yang nyaman terhadap manusia
serta mahluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan
hidupnya secara optimal.
UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang mengisyaratkan agar setiap
kota menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kota sebagai pedoman dalam pemanfaatan
ruang bagi setiap kegiatan pembangunan. RTR Wilayah Kota merupakan rencana pemanfaatan ruang kawasan
perkotaan yang disusun untuk menjaga keserasian pembangunan antar sektor dalam
rangka penyusunan dan pengendalian program-program pembangunan perkotaan jangka
panjang.
Fungsi RTR Wilayah Kota adalah untuk menjaga konsistensi
perkembangan kawasan perkotaan dengan strategi perkotaan nasional dan arahan
RTRW Provinsi dalam jangka panjang, menciptakan keserasian perkembangan kota dengan
wilayah sekitarnya, serta menciptakan keterpaduan pembangunan sektoral dan
daerah. Muatan RUTR Kawasan Perkotaan meliputi tujuan, rencana struktur dan
pola pemanfaatan ruang Kawasan Perkotaan, dan upaya-upaya pengelolaan kawasan
lindung, kawasan budidaya, kawasan fungsional perkotaan, dan kawasan tertentu,
serta pedoman pengendalian pembangunan Kawasan Perkotaan.
Dalam pelaksanaannya, RTR Wilayah Kota yang selayaknya
menghasilkan suatu kondisi yang ideal pada umumnya masih sulit terwujud. Salah
satu penyebabnya adalah masalah yang terkait dengan ruang daratan, dalam hal
ini tanah. Pada kenyataan di lapangan, tanah tersebut telah dikuasai, dimiliki,
digunakan, dan dimanfaatkan baik oleh perorangan, masyarakat, badan hukum,
maupun pemerintah. Di satu sisi RTR Wilayah Kota telah ditetapkan melalui
Peraturan Daerah, tetapi di sisi lain ada yang telah menguasai dan memiliki
tanah, sebagian bahkan memiliki kepastian hukum akan tanahnya dalam bentuk hak
atas tanah (sertifikat tanah).
Dengan mengingat hampir semua kegiatan pembangunan memang
mengambil tempat di atas tanah, dan bahwa dalam rangka implementasi RTRW
diperlukan pengaturan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak terpisahkan
satu sama lain, maka Pemerintah telah menerbitkan PP No. 16/2004 tentang Penatagunaan
Tanah dalam rangka melaksanakan Pasal 16 ayat (2) UU No.24/1992 yang menyatakan
perlu adanya ketentuan mengenai pola pengelolaan tata guna tanah.
B. Rumusan Masalah
Dalam hal ini penyusun menemukan permasalahan yaitu :
Bagaimana kaitannya pemberian izin pembangunan perumahan dan
pemukiman terhadap penataan ruang.
II.
PEMBAHASAN
A. Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dalam Kaitannya Dengan
Penataan Ruang
Tujuan pembangunan perumahan dan permukiman adalah
menyelenggarakan pembangunan perumahan dan permukiman yang mengacu pada suatu
kerangka penataan ruang wilayah, sehingga dapat berlangsung tertib,
terorganisasi dengan baik, berdaya guna dan berhasil guna, sesuai dengan
kebutuhan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan ini tidak akan
tercapai bila tidak dilakukan perubahan dalam pengelolaan tanah (pendaftaran,
sertifikasi, pembebasan tanah, ganti rugi, pemberian hak atas tanah).
Sasaran dari rencana pembangunan perumahan dan permukiman antara
lain :
a.
Tersedianya rencana pembangunan perumahan dan
permukiman di daerah yang aspiratif dan akomodatif, yang dapat diacu bersama
oleh pelaku dan penyelenggara pembangunan, yang dituangkan dalam suatu Rencana
Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D);
b.
Tersedianya skenario
pembangunan perumahan dan permukiman yang memungkinkan terselenggaranya
pembangunan secara tertib dan terorganisasi, serta terbuka peluang bagi
masyarakat untuk berperan serta dalam seluruh prosesnya;
c.
Terakomodasinya kebutuhan
akan perumahan dan permukiman yang dijamin oleh kepastian hukum, terutama bagi
kelompok masyarakat berpenghasilan rendah;
d.
Tersedianya informasi
pembangunan perumahan dan permukiman di daerah sebagai bahan masukan bagi
penyusunan kebijaksanaan pemerintah serta bagi berbagai pihak yang akan
terlibat/melibatkan diri.
Kaitan antara pembangunan perumahan dan permukiman dengan penataan
ruang adalah sebagai berikut :
a.
Rencana Tata Ruang Wilayah –
sebagai hasil perencanaan tata ruang
merupakan landasan pembangunan sektoral. Dengan kata lain setiap
pembangunan sektoral yang berbasis ruang perlu mengacu pada rencana tata ruang
yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar terjadi sinergi dan efisiensi
pembangunan, sekaligus menghindari kemungkinan terjadinya konflik pemanfaatan
ruang antar sektor yang berkepentingan dan dampak merugikan pada masyarakat
luas.
b.
Dalam RUTR Kawasan Perkotaan
diatur alokasi pemanfaatan ruang untuk berbagai penggunaan berdasarkan
prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, keserasian, keterbukaan, dan efisiensi
agar tercipta kualitas permukiman yang layak huni.
c.
Untuk Kawasan Perkotaan,
alokasi ruang untuk perumahan dan permukiman merupakan yang terbesar
dibandingkan dengan alokasi penggunaan lainnya.
Lingkup pembangunan perumahan dan permukiman senantiasa mencakup aspek
penataan ruang dan aspek penyediaan prasarana dan sarana lingkungan. Dalam mendukung
pelaksanaan UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah serta mewujudkan visi dan
misi pembangunan perumahan dan permukiman yang tertuang dalam KSNPP (Kebijakan
dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman), maka telah disiapkan Pedoman
Penyusunan RP4D. RP4D pada dasarnya merupakan alat operasional untuk mewujudkan
kebijakan dan strategi perumahan dan permukiman tersebut.
C. Pemberian Izin Terhadap Pemanfaatan Ruang
Berdasarkan UU No.24/1992, pengertian penataan ruang tidak
terbatas pada dimensi perencanaan tata ruang (proses penyusunan rencana tata
ruang), tetapi termasuk pula dimensi pemanfaatan ruang (wujud operasionalisasi
rencana tata ruang/pelaksanaan pembangunan) dan pengendalian pemanfaatan ruang (mekanisme
perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar
tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya).
Pada pelaksanaannya, beberapa masalah biasanya timbul pada proses pemanfaatan
ruang. Issue dan tantangan dalam penataan ruang yang terkait dengan pembangunan
perumahan dan permukiman antara lain :
a.
Pemanfaatan lahan perumahan
dan permukiman belum sepenuhnya mengacu pada RTRW, dan masih berorientasi pada
pengembangan yang bersifat horizontal (contoh : kasus kota metropolitan dan
kota besar), sehingga cenderung menciptakan urban sprawling (pembangunan yang
tidak terpola dengan baik) dan inefisiensi pelayanan prasarana dan sarana.
b.
Izin lokasi pemanfaatan
lahan perumahan dan permukiman melebihi kebutuhan nyata sehingga meningkatkan
luas area lahan tidur (vacant land).
Dari luasan izin lokasi
yang telah diberikan di wilayah Jabodetabek pada tahun 1999 : 136.771 ha, maka 68.472
ha telah dibebaskan, 35.025 belum dimanfaatkan, dan hanya 33.274 ha (24%) saja
yang sudah dibangun.
a.
Pemanfaatan lahan perumahan
dan permukiman belum memberikan rasa keadilan kepada penduduk berpenghasilan
rendah sehingga selalu tersingkir ke luar kota dan jauh dari tempat kerja.
b.
Pemanfaatan ruang untuk
perumahan dan permukiman belum serasi dengan pengembangan kawasan fungsional
lainnya atau dengan program sektor/fasilitas pendukung lainnya.
c.
Ketidakseimbangan
pembangunan desa – kota serta meningkatnya urbanisasi yang mengakibatkan
permukiman kumuh dan berkembangnya masalah sosial di kawasan perkotaan.
d.
Konflik penggunaan lahan,
khususnya antara penggunaan permukiman dengan penggunaan kawasan lindung.
e.
Kebutuhan lahan untuk
permukiman semakin meningkat seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk.
Data menunjukkan jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan
perkembangan yang cukup pesat dari 32,8 juta / 22,3% dari total penduduk
nasional (1980), menjadi 74 juta / 37% (1998) dan diperkirakan akan menjadi 150
juta / 60% dari total penduduk nasional pada tahun 2015, dengan laju
pertumbuhan penduduk kota rata-rata 4,49% (1990 – 1995).5
f.
Tingginya laju pertumbuhan
penduduk ini akan menimbulkan kebutuhan lahan perumahan dan permukiman yang
sangat besar, sementara kemampuan Pemerintah sangat terbatas. Menurut catatan,
hanya 15% kebutuhan perumahan yang mampu disediakan oleh pemerintah, sisanya
sebesar 85% disediakan oleh masyarakat atau swasta. Apabila pembangunan
perumahan yang dilakukan oleh masyarakat atau swasta tidak dikendalikan pengembangannya,
maka akan menimbulkan masalah besar yang mengancam kawasan lindung.
g.
Tantangan terbesar dalam
penataan ruang serta pembangunan perumahan dan permukiman adalah bagaimana
memberdayakan peran masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan perumahannya
sendiri yang sehat, aman, serasi, dan produktif tanpa merusak lingkungan hidup
dan merugikan masyarakat luas.
D. Penatagunaan Tanah
Dalam UU No.24/1992 dinyatakan bahwa Ruang Wilayah Negara
Indonesia sebagai wadah atau tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan
melakukan kegiatannya. Ruang wilayah negara, khususnya ruang daratan sebagai
suatu sumber daya alam dari berbagai subsistem ruang wilayah negara dalam pemanfaatan
untuk berbagai kegiatan yang meliputi aspek poleksosbudhankam dan kelembagaan
dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda satu dengan lainnya di setiap
wilayah, dalam implementasinya akan sangat terkait keberadaannya dengan
penatagunaan tanah.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 52 UU
No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dan sejalan dengan
ketentuan dalam UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang, dikembangkan penatagunaan
tanah yang disebut juga pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang tertuang dalam PP No. 16/2004 tentang
Penatagunaan Tanah.
Secara garis besar PP ini memuat ketentuan yang mengatur
implementasi RTRW di atas ruang daratan dalam hal ini tanah, terutama yang
terkait aspek pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Dalam PP tersebut
diatur mengenai kebijakan penatagunaan tanah dan penyelenggaraan penatagunaan
tanah. Kebijakan penatagunaan tanah yang merupakan bagian
terpenting dari penataan ruang bertujuan untuk mengatur dan
mewujudkan Penguasaan,
Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) untuk berbagai
kebutuhan kegiatan pembangunan sesuai dengan RTRW dan mewujudkan tertib
pertanahan dengan tetap menjamin kepastian hukum atas tanah bagi masyarakat.
Kebijakan penatagunaan tanah diselenggarakan terhadap seluruh
bidang tanah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik di Kawasan
Lindung mapun Kawasan Budidaya. Dalam rangka menjamin kepastian hukum atas
tanah, PP Penatagunaan Tanah menegaskan bahwa penetapan RTRW tidak mempengaruhi
status hubungan hukum atas tanah, dalam hal ini hak atas tanah tetap diakui.
Namun demikian, pemegang hak atas tanah diwajibkan untuk
menggunakan dan memanfaatkan tanah, yang dimaksudkan agar tanah
tersebut digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan daya dukungnya, tidak
dibiarkan terlantar serta diwajibkan untuk memelihara dan mencegah kerusakan
tanah tersebut. Kebijakan penatagunaan tanah meliputi penguasaan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung dan budidaya.
Dalam rangka penyelenggaraan penatagunaan tanah, dilaksanakan
kegiatan sebagai berikut :
1. inventarisasi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah;
2. penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan;
3. penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah dengan RTRW.
Penentuan kesesuaian penggunaan tanah terhadap RTRW didasarkan
atas pedoman, standar dan kriteria teknis yang ditetapkan oleh Pemerintah, yang
kemudian dijabarkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kondisi wilayah
masing-masing.
Pelaksanaan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah dengan RTRW dapat dilakukan melalui :
1.
penataan kembali
(konsolidasi tanah, relokasi, tukar menukar, dan peremajaan kota),
2.
upaya kemitraan,
3.
penyerahan dan pelepasan hak
atas tanah kepada negara/pihak lain dengan penggantian sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Salah satu upaya penatagunaan tanah seperti disebutkan di atas
adalah melalui Konsolidasi Tanah yang juga telah diatur pelaksanaannya dalam
Peraturan BPN No. 4 tahun 1992. Konsolidasi tanah adalah kebijakan pertanahan
mengenai penataan kembali penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah agar
sesuai dengan RTRW, serta usaha-usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan
yang bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan hidup/pemeliharaan sumber
daya alam, dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung, baik di
kawasan perkotaan maupun perdesaan.
Tujuannya adalah untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal,
melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah dengan sasaran
untuk mewujudkan suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur,
dalam arti untuk pengembangan kawasan baru maupun pembangunan kawasan kota
(urban renewal).
Khusus untuk kawasan perumahan dan permukiman, konsolidasi tanah
dapat memenuhi kebutuhan akan adanya : i) lingkungan permukiman yang teratur, tertib,
dan sehat, ii) kesempatan kepada pemilik tanah untuk menikmati secara langsung
keuntungan konsolidasi tanah, baik kenaikan harga tanah maupun kenikmatan
lainnya karena terciptanya lingkungan yang teratur, iii) terhindar ekses-ekses
yang sering timbul dalampenyediaan tanah secara konvensional, iv) percepatan
laju pembangunan wilayah permukiman, v) tertib administrasi pertanahan serta
menghemat pengeluaran dana Pemerintah untuk biaya pembangunan prasarana,
fasilitas umum, ganti rugi, dan operasional.
Pada awalnya konsolidasi tanah dilakukan di daerah pinggiran kota.
Dalam perkembangannya, konsolidasi tanah juga dapat diadaptasikan pada bagian wilayah
kota yang lain untuk mendukung pengaturan persil tanah di perkotaan.
Beberapa wilayah yang potensi untuk dikonsolidasi antara lain :
1.
Wilayah yang direncanakan
menjadi kota/permukiman baru (Kasiba/Lisiba);
2.
Wilayah yang sudah mulai
tumbuh;
3.
Wilayah permukiman yang tumbuh
pesat;
4.
Wilayah bagian pinggir kota
yang telah ada atau direncanakan jalan penghubung;
5.
Wilayah yang relatif kosong;
6.
Wilayah yang belum
teratur/kumuh;
7.
Wilayah yang perlu
renovasi/rekonstruksi karena kebakaran/bencana, dan lain-lain.
III.
PENUTUP
Tanah adalah unsur ruang yang strategis dan pemanfaatannya terkait
dengan penataan ruang wilayah. Penataan ruang wilayah mengandung komitmen untuk
menerapkan penataan secara konsekuen dan konsisten dalam kerangka kebijakan
pertanahan yang berlandaskan UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria. Sehubungan dengan itu dan atas perintah Pasal 16 UU No.24/1992 tentang
Penataan Ruang, maka dalam rangka pemanfaatan ruang perlu diselenggarakan
penatagunaan tanah yang mencakup pengaturan terhadap pola pengelolaan
penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, agar sesuai dengan RTRW yang
tertang dalam PP No. 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah.
Pembangunan tanpa tersedianya tanah tidak mungkin terselenggara.
Tanah diperlukan sebagai sumberdaya sekaligus sebagai tempat penyelenggaraan pembangunan.
Sebaliknya, tanah tidak akan memberikan kemakmuran tanpa pembangunan karena
yang memberikan kemakmuran adalah kegiatan manusia di atas tanah. Oleh karena
itu penataan pertanahan tidak dapat lepas dari sistem pembangunan nasional.
Dalam proses perencanaan tata ruang, kondisi pertanahan merupakan
faktor yang harus diperhatikan. Aspek-aspek pertanahan yang harus diperhatikan
itu antara lain : keadaan penggunaan tanah saat sekarang, kondisi fisik
kemampuan tanah, potensi tanah, dan status penggunaan tanah.
Dalam upaya mewujudkan kondisi ideal dari suatu rencana tata ruang
dengan kondisi penggunaan, potensi dan penguasaan tanah yang ada saat sekarang,
maka diperlukan serangkaian tindakan yang melibatkan kegiatan pengaturan penguasaan
dan penggunaan tanah, pengurusan hak-hak atas tanah, pengukuran dan pendaftaran
tanah. Hal ini merupakan keharusan mengingat tanah yang ada dalam suatu
wilayah/ruang pada umumnya telah memiliki hak-hak atas tanah yang juga
memberikan kewenangan kepada pemilik tanah untuk mengelola tanah yang
dikuasainya. Implikasinya adalah bahwa pemegang hak atas tanahlah yang akhirnya
akan terkena dampak dan menjadi pelaksana dari kebijaksanaan penataan ruang
tersebut.
Selanjutnya dalam langkah operasional, upaya pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang untuk mewujudkan kondisi ideal ditempuh melalui
mekanisme pengadaan tanah dan pengendalian penggunaan tanah, antara lain
melalui izin lokasi dan pemberian hak atas tanah.
Pada dasarnya, penatagunaan tanah merujuk pada RTRW Kabupaten/Kota
yang telah ditetapkan. Bagi Kabupaten/Kota yang belum menetapkan RTRW, penatagunaan
tanah merujuk pada rencana tata ruang lain yang telah ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan untuk daerah bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dirjen Penataan Ruang – Dep. Kimpraswil, Sinkronisasi Penataan
Ruang dengan Pembangunan Perumahan dan Permukiman, makalah pada Orientasi
Wartawan Bidang Properti dan Konstruksi, Bandung 17 Mei 2002.
2. Deputi Bidang Tatalaksana Pertanahan – Badan Pertanahan
Nasional, Mekanisme Penatagunaan Tanah dalam Pengelolaan Pertanahan di Pusat,
Provinsi dan Kabupaten/Kota, makalah pada Lokakarya Kewenangan Pemerintah dalam
rangka Otonomi Daerah, Land Management and Policy Development Program, Hotel
Hilton Jakarta 20 Desember 2002.
3. Dirjen Perumahan dan Permukiman – Dep. Kimpraswil, Pengelolaan
Tanah untuk Pembangunan Perumahan dan Permukiman dalam Kerangka Penataan Ruang
Wilayah Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, makalah pada Lokakarya
Kewenangan Pemerintah dalam rangka Otonomi Daerah, Land Management and Policy
Development Program, Hotel Hilton Jakarta 20 Desember 2002.
4. Herry Darwanto, Peran dan Kerjasama Kelembagaan di Tingkat
Pusat untuk Menangani Masalah Pembangunan Perkotaan, makalah untuk Diskusi Staf
Ditjen TPTP tentang Pemberdayaan Tugas Pembangunan Perkotaan dalam Era
Desentralisasi, 20 Oktober 2003.
5. Kepala BPN, Aspek Pertanahan dan Tata Ruang, Hubungan Rencana
Tata Ruang Wilayah dengan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan
Tanah (P4T), makalah pada Rakerda BKTRN, Pontianak 3-4 Juni 2004.
6. Menteri Kimbangwil, Strategi Pembangunan Wilayah dan Perkotaan Indonesia,
Keynote Address pada Seminar Reformasi Kebijakan Perkotaan dalam Era
Desentralisasi, Jakarta 5 Juni 2001.
7.
PP No.16/2004 tentang Penatagunaan Tanah.
BalasHapusAgent pokervita dengan bonus rollingan terbanyak ?
Ada nih agent POKERVITA di tahun 2021
Dengan bonus rollingan harian bahkan mingguan
Info hub
WA:0812 2222 996